Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penyakit Eksotis pada Kelapa Sawit

Penyakit eksotis merupakan penyakit kelapa sawit yang telah ditemukan di luar negeri, tetapi belum ditemukan di Indonesia. Penyakit-penyakit tersebut diantaranya:

1. Penyakit kelapa sawit oleh Phytoplasma

Penyakit Lethal wilt. Lethal wilt merupakan penyakit gres yang menyerang tumbuhan kelapa sawit di Kolombia kepingan timur dengan tanda-tanda penyakit yang berbeda dari tanda-tanda penyakit yang pernah ada di Amerika selatan. Penyakit ini dilaporkan pertama kali pada tahun 1999 meskipun bukti-bukti awal munculnya penyakit ini telah terdeteksi pada tahun 1994. Untuk menghindari meluasnya penyakit ini, areal pertanaman kelapa sawit seluas 400 ha telah dieradikasi. Tanaman yang terinfeksi menunjukkan tanda-tanda yang komplek dimana pada daun-daun muda terjadi klorosis, sedangkan daun-daun kepingan tengah dan bawah mengering dengan cepat serta terjadi pembusukan pada tandan buah dan akar (Acosta et al., 2001). Perkembangan penyakit ini sangat cepat dimana tumbuhan akan mati dalam waktu 3-6 bulan sehabis tanda-tanda awal tampak. Cenipalma (Pusat Penelitian Palma, Kolombia) telah meneliti penyebab penyakit ini dan mengarah pada dua kemungkinan penyebab penyakit yaitu basil pembusuk akar dan Phytoplasma-like organism. Peneliti lain, Alvarez dan Claroz (2004) telah berhasil mengisolasi penyebab penyakit ini dan menyimpulkan bahwa penyebab penyakit ini ialah Phytoplasma yang diklasifikasikan dalam 16 SrI grup aster yellows dimana hasil sekuensing partial dari kepingan ribosomal 16Sr Phytoplasma tersebut telah didepositkan di NCBI (GenBank) dengan Accession Number AY739023 dan AY739024.

Penyakit Kerala wilt. Di India, penyakit ini merupakan penyakit endemik pada tumbuhan kelapa di propinsi Kerala. Penyebab penyakit Kerala wilt ialah Phytoplasma dimana penyakit ini telah ditularkan dan menyerang tumbuhan kelapa sawit yang dibudidayakan di Kerala melalui vektor serangga Proutista moesta (Homoptera:Derbidae) dan Stephanitis typica (Heteroptera:Tingidae). Gejala awal terlihat pada daun termuda yang mengalami klorosis kemudian diikuti nekrosis pada daun muda tadi, janur yang muncul membusuk dan ukuran daun lebih kecil dari normal, selain itu munculnya pembungaan tertahan sehingga produktivitas turun secara drastis. Penyakit ini di propinsi Kelara telah mematikan sebanyak 15.000 tumbuhan kelapa sawit dan hingga ketika ini tumbuhan yang terinfeksi penyakit ini tidak sanggup diselamatkan (Rethinam, 2000). Untuk menghindari penyebaran penyakit ini lebih lanjut ke tempat lain di India telah dikeluarkan peraturan untuk melarang membawa keluar tumbuhan palma dari propinsi Kerala. Selain menyerang tumbuhan kelapa sawit, penyakit kerala wilt terbukti juga menyerang tumbuhan pinang.

Penyakit Kalimantan wilt. Pada tahun 1933, Muller telah melaporkan terjadinya ledakan penyakit layu pada tumbuhan kelapa di Kalimantan barat bersahabat Pontianak dimana pada waktu itu penyakit layu (wilt) tersebut telah mematikan sebanyak 30.000 tumbuhan kelapa. Gejala serupa juga dilaporkan terjadi di Kalimantan Tengah di tempat Samuda dan Sampit, di antara ketiga tempat tersebut, penyebab penyakit layu pada kelapa yang telah diidentifikasi sebagai Phytoplasma ialah yang berasal dari tempat Samuda dimana Phytoplasma penyebab penyakit layu tersebut diklasifikasikan dalam 16 SrXI dalam grup rice yellow dwarf (Jones and Warokka, 2004). Hingga sekarang penyakit ini belum dilaporkan sanggup menyerang tumbuhan kelapa sawit, tetapi tidak tertutup kemungkinan penyakit ini akan pindah ke tumbuhan sawit. Untuk itu, para pekebun kelapa sawit yang berdekatan dengan ketiga tempat tersebut supaya memonitor ada tidaknya tanda-tanda penyakit yang tidak umum pada tumbuhan kelapa sawit, hal ini untuk mengantisipasi pada kasus penyakit Kerala wilt yang sanggup menyerang tumbuhan sawit.

Potensi resiko. Kelapa sawit sebagai tumbuhan ”tamu” yang dibudidayakan di habitat baru, dalam proses adaptasinya di tempat baru, kelapa sawit kerapkali menerima serangan penyakit ”lokal” yang berasal dari tumbuhan palma terutama tumbuhan kelapa. Salah satu jenis penyakit kelapa oleh Phytoplasma yang telah diteliti secara intensif ialah lethal yellowing (LY) yang terdapat di Amerika Tengah dimana penyakit kelapa ini terbukti sanggup juga menyerang banyak sekali jenis palma lain sebanyak 35 spesies palma (Harrison et al., 1999). Penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa phytoplasma penyebab penyakit LY ini telah ditemukan pada jaringan embrionik benih kelapa (Cordova et al., 2003). Mengingat luasnya kisaran inang penyakit LY, tidak tertutup kemungkinan tumbuhan kelapa sawit juga sanggup tertular penyakit LY ini.

2. Penyakit layu pembuluh Fusarium (Fusarium vascular wilt disease).

Layu pembuluh Fusarium disebabkan oleh Fusarium oxysporium f.sp. elaeidis merupakan penyakit yang mematikan pada tumbuhan kelapa sawit di negara-negara Afrika Barat dan Afrika Tengah ibarat Pantai Gading, Ghana, Benin, Nigeria, Kamerun dan Kongo, tetapi penyakit ini telah menyebar dan menyerang tumbuhan kelapa sawit di Brasil pada tahun 1983 (Van de Lande, 1984), di Ekuador tahun 1986 (Renard and Franqueville, 1989) dan mungkin telah menyebar ke Kolombia dan Suriname.

Gejala penyakit. Pada tumbuhan muda daun tampak berwarna kuning kecoklatan pada salah satu daun di tengah tajuk kemudian menyebar pada daun disebelahnya dan selanjutnya ke daun-daun di bawahnya. Tanaman kemudian total mengering dan mati dalam waktu 2 bulan sehabis tanda-tanda pertama tadi terlihat. Pada tumbuhan bau tanah ada dua tipe gejala, pertama tanda-tanda akut (typical) dimana daun-daun kepingan bawah mengering dan pelepah daun patah pada kepingan tengah atau pada sepertiga dari batang. Pertumbuhan daun-daun muda sangat lambat dan berwarna kekuningan. Kedua dengan tanda-tanda kronis, tanda-tanda ini yang sering dijumpai di lapang dimana daun-daun kepingan bawah mengering dan patah sehingga tinggal 2-4 daun pucuk yang tidak membuka. Gejala internal ditujukkan dengan bercak-bercak coklat kehitaman jikalau batang tumbuhan sakit dibelah, hal ini lantaran penyumbatan jaringan xilem jawaban tilosis dan pembentukan ”gum” sehingga fatwa air dan nutrien sangat terganggu, pada serangan berat bercak-bercak tersebut ditemukan hingga pada pelepah (Franqueville dan Diabate, 2005).

Potensi resiko. Di Afrika, kehilangan produksi jawaban penyakit ini sanggup mencapai 30 % pada tumbuhan yang berumur 15-20 tahun, sedangkan di Pantai Gading pada varietas-varietas kelapa sawit yang rentan tiap tahunnya terjadi janjkematian tumbuhan hingga 10.000 pohon (Desmier de Chenon et al., 2005). Jamur ini sanggup membentuk struktur spora berdinding tebal yang dikenal sebagai klamidospora dimana spora ini tahan terhadap kekeringan dan sanggup bertahan di tanah selama bertahun-tahun. Klamidospora ini sanggup terbawa angin dan sanggup melekat pada benih kelapa sawit maupun paking benih kelapa sawit, lantaran itu untuk benih impor, karantina antara diharapkan selain untuk men”treatment” benih juga untuk mengganti paking. Kontaminasi benih kelapa sawit dengan spora jamur ini telah dilaporkan pertama kali oleh Locke and Colhoun (1973), kemudian Flood et al (1990) menemukan bahwa selain pada permukaan luar benih, jamur ini juga ditemukan di dalam benih, tepatnya pada permukaan inti sawit (kernel) selain itu tepung sari (pollen) sanggup juga tercemar oleh jamur ini. Untuk mengeradikasi benih dari penyakit ini sanggup dilakukan dengan metoda ”vaccum infiltration” dengan captafol atau prochloraz plus carbendazim (Flood et al., 1994), hal ini penting untuk agenda pemuliaan tumbuhan kelapa sawit di Asia Tenggara yang kadang kala masih memerlukan plasmanutfah dari tempat asal (Afrika).

Berjangkitnya penyakit Fusarium wilt ini di Brasil dan Ekuador memberi indikasi bahwa penyakit ini sanggup ditularkan lintas benua dan bersifat seed-borne. Penyebab penyakit di Amerika selatan ini memiliki sifat kemiripan genetis dengan tempat asal benih yaitu Pantai Gading yang dibuktikan dengan uji restriction fragment length polymorphism (RFLP) dan ”vegetative compatibility” (Flood et al., 1992). Dua hipotesis sanggup dikemukan perihal perpindahan penyakit ini ke Amerika Selatan, yaitu melalui benih kelapa sawit pribadi (Flood, 2005) atau terbawa benih Pueraria javanica yang tercemar spora jamur ini (Franqueville dan Diabate, 2005) yang pada tahun 1970an diimpor dalam skala besar oleh kedua negara di Amerika Selatan ini, lantaran bukan benih utama diperkirakan ”treatment” terhadap benih kacangan ini kurang diperhatikan.

3. Penyakit wangi umbut (Bud rot, Pudricion del cogollo)

Penyakit ini merupakan penghambat utama pengembangan perkebunan kelapa sawit di Amerika Tengah dan Selatan. Kerusakan berat jawaban penyakit ini sering dilaporkan di beberapa kebun sawit, sebagai rujukan pada tahun 1990 luas perkebunan kelapa sawit di Suriname 5.425 ha tetapi pada tahun 2000 tinggal 40 ha, di Ekuador tanda-tanda penyakit ini muncul pada tahun 1992-1993 di tumbuhan muda di kebun Shushufindi (5000 ha) dan Huashito (5000 ha) dan pada tahun 2000 kedua kebun tersebut telah porak-poranda jawaban penyakit ini (Franqueville, 2001). Kerusakan jawaban penyakit ini sanggup bersifat: mematikan (lethal) terutama dijumpai di Ekuador, Brasil dan Suriname dan yang bersifat tidak mematikan (non-lethal) dimana tumbuhan kelapa sawit yang menderita jawaban penyakit ini sanggup pulih kembali, tanda-tanda ini dijumpai di Kolombia.

Gejala penyakit. Penelitian untuk mengidentifikasi penyebab penyakit ini telah dilakukan semenjak 25 tahun yang kemudian tetapi hingga sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Kontroversi mengenai penyebab penyakit apakah disebabkan oleh faktor biotik (patogen) atau abiotik (gangguan fisiologis) masih terus berlangsung terutama adanya tanda-tanda yang bersifat mematikan (lethal) yang diduga disebabkan oleh patogen dan tanda-tanda yang bersifat tidak mematikan (non-lethal) dimana dengan perbaikan drainase dan pemupukan berimbang tumbuhan sanggup sembuh kembali (Gomez et al., 2005). Gejala penyakit pertama kali ditandai klorosis pada daun-daun muda yang belum membuka (Swinburne, 1993) kemudian disusul dengan pembusukan daun-daun tersebut dengan tesktur wangi berair yang merambat mengarah pada jaringan meristem titik tumbuh. Bila pembusukan tidak hingga pada titik tumbuh, tumbuhan sanggup bertahan dan sembuh kembali yang ditandai munculnya daun-daun gres yang kerdil.

Potensi resiko. Dalam kasus penyakit wangi umbut yang hingga sekarang belum sanggup ditentukan penyebab penyakitnya namun penyakit ini memiliki pola penyebaran ibarat layaknya penyakit yang disebabkan oleh patogen sehingga penyakit ini perlu selalu diwaspadai penyebarannya.

4. Penyakit Sudden wilt

Penyakit ini dikenal dengan banyak sekali nama antara lain penyakit ”Marchitez”, Hartrot maupun Fatal wilt. Penyakit ini sebelumnya dikenal sebagai ”Hartrot disease” pada tumbuhan kelapa pada tahun 1908 kemudian ditemukan pada kelapa sawit di Suriname tahun 1923 dan di Kolombia pada tahun 1963 dan sekarang telah menyebar di Ekuador, Peru, Venezuela, Brasil, Nikaragua dan Kosta Rika (Desmier de Chenon et al., 2005). Penyakit ini bersifat mematikan (lethal) dan segala umur tumbuhan kelapa sawit sanggup diserang, tetapi yang paling rentan tumbuhan umur antara 3-5 tahun. Kerugian berupa kehilangan hasil jawaban serangan penyakit ini sanggup mencapai 80 % (Gomez et al., 1996).

Gejala penyakit. Gejala spesifik ditandai dengan perubahan warna daun-daun kepingan bawah yang berwarna coklat kemerahan kemudian menyebar ke seluruh daun sehingga tumbuhan tampak ibarat terbakar. Penyakit ini sanggup menyerang tandan buah dimana buah kelapa sawit menjadi wangi dan berguguran, selain itu juga terjadi pembusukan pada bunga jantan maupun akar tumbuhan kelapa sawit. Tanaman yang terjangkit penyakit ini menjadikan janjkematian sehabis 1-2 bulan semenjak tanda-tanda penyakit pertama kali terlihat (Martinez, 1985). Penyakit ini disebabkan oleh Phytomonas staheli ( Dollet et al., 1996) jenis protozoa berflagela dan sebagai vektornya berupa serangga kepik dari famili Pentatomidae yaitu Linchus spp (Desmier de Chenon et al., 2005).

Potensi resiko. Di Amerika Selatan, Phytomonas sanggup hidup pada flora gulma famili Euphorbiaceae dan beberapa spesies gulma tersebut dijumpai di Asia Tenggara, antara lain Euphorbia heterophylla dan E. hirta dimana kedua gulma tersebut direkomendasikan di perkebunan kelapa sawit sebagai sumber nektar bagi musuh alami terutama parasitoid (Desmier de Chenon et al., 2005). Untuk itu penggunaan gulma tersebut di perkebunan kelapa selalu di monitor.

5. Penyakit red ring.

Penyakit ini telah menyebar ke semua perkebunan kelapa sawit yang berada di Amerika Tengah dan Selatan, khususnya di Kolombia penyakit ini dilaporkan di San Alberto pada tahun 1984 dan telah mematikan tumbuhan kelapa sawit lebih dari 500 ha (Gomez et al., 2005).

Gejala penyakit. Daun-daun kepingan bawah menguning kemudian menjalar ke daun-daun kepingan atasnya, pelepah daun di kepingan tengah mengering, patah dan menggantung. Pertumbuhan daun-daun muda terhambat sehingga daun-daun muda yang muncul menjadi kerdil-kerdil (little leaf symptom). Gejala spesifik sanggup dilihat jikalau tumbuhan yang sakit batangnya dibelah melintang akan terlihat cincin berwarna merah kecoklatan, begitu juga jikalau pelepah di potong melintang akar terlihat bercak-bercak berwarna merah salmon (Gomez et al., 2005). Penyebab penyakit ini ialah nematoda Bursaphelenchus cocophilus (sinonim: Radinaphelenchus cocophilus) dimana nematoda ini sanggup ditularkan ke tumbuhan kelapa sawit lainnya oleh kumbang moncong Rhynchophorus palmarum.

Potensi resiko. Kemungkinan terbawanya nematoda melalui benih hampir tidak mungkin, tetapi nematoda ini sanggup hidup pada palma hias ibarat Sabal palmetto dan Phoenix canariensis (Desmier de Chenon et al., 2005) ataupun mungkin pada beberapa palma hias lainnya, untuk itu kemudian lintas palma hias dari tempat wabah harus diawasi dengan ketat. Serangga vektor yaitu Rhynchophorus di Asia Tenggara tersedia berlimpah.