Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Toleransi Beberapa Faktor Yang Dicurigai Terhadap Perubahan Lingkungan Di Tambak Produksi Udang Bbap Ujung Batee

Oleh

Syafrizal, S.Pi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemampuan dalam mengelola lingkungan merupakan kunci dari keberhasilan dalam produksi udang pada suatu tambak. Pereairan merupakan lingkungan daerah udang tinggal dan melaksanakan interaksi dengan lingkungan sekitarnya baik yang bersifat biotik dan abiotik. Didalam habitat aslinya ekosistem yang terbentuk senantiasa terjaga kondisinya terjaga dalam keseimbangan melalui natural control mechanisme. Akan tetapi bila di dalam perairan tambak sering terjadi hambatan yaitu adanya perubahan lingkungan yang sanggup menimbulkan ajal dan sanggup menggagalkan budidaya

H­2S atau yang lebih sering disebut dengan hidrogen sulfida merupakan senyawa kimia yang berbahaya di perairan, kandungan H2S di perairan akan menimbulkan ajal terhadap udang yang dibudidayakan. Akan tetapi H2­S ada di perairan tambak lantaran di pacu oleh beberapa faktor antara perubahan pH, nitrate, nitrite, suhu, ammoniak.

Sehingga di perlukan sebuah perekayasaan untuk mengindetifikasi pemacu dari timbulnya senyawa H2S di perairan tambak. Sehingga para petani sanggup melaksanakan pengelolan kualitas air secara baik dan bener. Ouput yang diharapkan petani melaksanakan pengelolaan kualitas air secara baik, sehingga sanggup meningkatkan produktifitas tambak.

1.2. TUJUAN DAN SASARAN

· Mengetahui toleransi beberapa yang sanggup menimbulkan senyawa H2S di perairan tambak.

· Memberikan gosip perihal senyawa H2S dan pengelolaan kualitas air tambak

· Informasi yang sempurna guna dan efisien perihal faktor-faktor lingkungan penyebab timbulnya senyawa H2S..

II. METODE KEGIATAN

2.1. Waktu dan Tempat

Waktu dan daerah pelaksanaan acara dilakukan pada bulan Janurari – Desember 2009, bertempat di laboratorium Management Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee.

2.2. Bahan dan Alat

Bahan yang di gunakan selama acara ini antara lain materi reagent Hach uji nitrite, materi reagent Hach uji amoniak, materi reagent Hach nitrate, materi reagent h2s, pH buffer 4 dan 7, udang windu pl 12 sebanyak 300 ekor, pakan udang serta tanah dasar tambak setinggi 3 cm . Alat yang di gunakan Hach colorimeter, pH YSI 100, ataqo refragtometer, aquarium sebanyak 3 buah.

2.3. Metode

Metode yang dipakai untuk acara ini yakni metode pengamatan pengukuran perihal H2S dan pengukuran faktor-faktor yang dicurigai dari penyebab timbulnya senyawa H2S, menyerupai pengukuran, nitrate, nitrite, suhu, pH, salinitas, amoniak. Pengukuran dilakukan 1 kali dalam seminggu selama 1 bulan dalam skala laboratorium produksi, data yang didapat diolah dengan memakai metode deskriptif dan studi literatur.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Dari hasil pengamatan yang didapat selama acara sanggup dilihat pada tabel dibawah ini


3.2. Pembahasan

Dari hasil yang diatas pada pengamatan ahad I, nilai kualitas air menyerupai nitrate, nitrate, pH, suhu, amoniak, salinitas tidak mensugesti kadar H2S di aquarium lihat grafik 1, dan terjadi perubahan kadar H2S di aquarium pada pengamatan ke 2 lihat grafik 2 yaitu pada aquarium 1 sebesar 0.001, aquarium ke dua 0.002, dan pada aquarium ke 3 sebesar 0.001. Terbacanya nilai H2S dimungkinkan lantaran adanya perombakan materi organik di aquarium. Tingginya materi organic dan kondisi anaerobic pada sediment, yang ditunjukkan dengan warna hitam dan bacin yang menyengat H2S menimbulkan ketidakberadaan organisme benthos pada dasar tambak. (Avnimelech, & Ritvo, 2003). Akan tetapi nilai H2S yang ada tidak mematikan udang yang di pelihara di masing-masing aquarium.

false false MicrosoftInternetExplorer4

Pada pengamatan di ahad ke-3 terdapat perubahan terhadap nilai h2s dari 0.001 – 0.002 ppm menjadi 0.004 pada aquarium 1, 0.007 ppm pada aquarium 2, 0.009 ppm, pada aquarium 3 (gbr 3. grafik pengamatan ahad ke 3). Perubahan ini mungkin di pengaruhi oleh perubahan pH yang pada pengamatan ahad ke 2 dari 7.74 – 7.45, menjadi 7.04 – 6.80 pada pengamatan ahad ke 3.
href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CACER%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml">

Adanya kenaikan h2s di perairan kuat pada udang yang di pelihara di aquarium, pada masing aquarium terdapat ajal udang, pada aquarium 1 terdapat ajal udang sebanyak 11 ekor, dan 14 ekor pada aquarium kedua, serta 18 ekor pada aquarium ketiga.

Boyd dalam Rianto (2003) menjelaskan bahwa sulfida akan bereaksi dengan hidrogen menjadi Hsdan H2S. Umar dalam Sastrawijaya (2000) menyatakan H2S cukup berbahaya bila terjadi pemaparan yang panjang meski dalam takaran rendah, senyawa tersebut sanggup menimbulkan gangguan sistem respirasi, iritasi mata, gangguan sistem saraf, gangguan kosentrasi serta gangguan sintesis enzim terutama pada retikulosit dan sistem saraf.

Hidrogen sulfida (H2S) berasal dari acara dekomposisi protein. Ini muncul dari buangan industri metalurgi dan pekerjaan kimia, pabrik bubur kertas, dan pabrik penyamakan. Penyebab lainnya yakni adanya senyawa sulfat dan belerang di dalam endapan tanah dan kemudian teroksidasi melalui tunjangan basil (Boyd, 1986) dan tertrasnfer ke dalam koloum air. Kosentrasi yang bisa menimbulkan ajal ada pada rang 0.4 mg/L (salmon) dan 4 mg/L (carp, tench dan eel). Konsentrasi kondusif pada konsentrasi kurang dari 0.002 ppm (udang, Van Wyk & Scarpa, 1999).

Toksisitas hidrogen sulfida menurun dengan meningkatnya pH (>8) dan menurunkan suhu, lantaran mengurangi non disosiasi H2S akan mengurangi tingkat racunnya. Pada pH 7.5 sekitar 14 % beracun, pada pH 7.2 meningkat menjadi 24%, dan pada pH 6.5 mencapai 61%, serta pada pH 6 mencapai 83% dari total sulfida yang terlarut di dalam air (Van Wyk & Scarpa, 1999).

Penurun pH di aquarium terjadi dikarenakan adanya pergantian air pada setiap aquarium, hal ini dilakukan lantaran nilai amoniak yang cukup tinggi sehingga di perlukan pergantian air akan tetapi sehabis pergantian air ternyata pH yang telah turun meningkatkan toksik h2s. Di tambak gotong royong perubahan pH sanggup terjadi lantaran masuknya air bahari ke tambak ketika pasang.

Untuk mengembalikan keseimbangan pH maka dilakukan pengapuran. Penanganan terhadap perubahan pH di dalam kolom air media budidaya bisa dilakukan. Kondisi pH yang menurun jawaban adanya hujan bisa dilakukan dengan melaksanakan pengapuran dengan memakai kapur atau dolomit degan takaran 100 - 200 kg/ha (Adhikari, 2003). Penambahan kapur mengembalikan nilai pH yang diinginkan yaitu 8.05 – 7.85 pada aquarium uji, dengan pH tersebut nilai h2s menjadi turun dan menurunkan sifat toksit dari h2s.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari acara yang telah dilakukan sanggup disimpulkan bahwa, perubahan lingkungan yang menimbulkan tingginya nilai H2S di perairan sanggup disebabkan oleh perubahan pH. pH yang cenderung rendah semakin meningkatkan toksik pada H2S hal ini sanggup di lihat dari pengamatan ahad ke tiga pada aquarium ketiga dimana nilai H2S sebesar 0.009 ppm pada pH 6.80 bisa mematikan udang yang dipelihara sebanyak 18 ekor. Perubahan pH dari basa menjadi asam sanggup disebabkan dari penggantian air pada aquarium, di tambak gotong royong penggantian air sanggup terjadi adanya air pasang yang masuk ke tambak atau pun masuknya air hujan ke tambak.

4.2. Saran

Dari acara yang telah dilakukan sanggup disarankan perlunya menjaga keseimbangan pH di perairan, lantaran fluktuasi nilai pH sanggup meningkatkan toksiksitas dari h2s. Pengapuran perlu dilakukan apabila pH air rendah ketika penggantian air dibutuhkan untuk mengembalikan nilai pH dan menjaga h2s tidak menjadi toksis

DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, S. 2003. Fertilization, Soil dan Water Quality Management in Small- Scale Ponds : Fertilization Requirementa and soil properties. Central Institute of Freshwater Quaculture, Kausalyagangga, Bulaneswar India. J.Aquaculture Asia, October-December 2003 (Vol. VIII No. 4)

Avnimelech, Y., Ritvo, G., 2003. Shrimp and fish pond soils: processes and management. Aquaculture 220, 549-567

Boyd, C.E. 1986. Water Quality Management for Fond Fish Culture. Elselvier Scientific Publishing Company. Amsterdam The Netherland.

Rianto, T. 2003. Toksisitas Sulfida Terhadap Benih Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fisceguttatus). Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau

Sastrawidjaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Aneka Cipta. Jakarta

Van Wyk P. dan John Scarpa. 1999. Water Quality Requirements and Management. Chapter 8 in . Farming Marine Shrimp in Recirculating Freshwater Systems. Prepared by Peter Van Wyk, Megan Davis- Hodgkins, Rolland Laramore, Kevan L. Main, Joe Mountain, John Scarpa.Kemampuan dalam mengelola lingkungan merupakan kunci dari keberhasilan dalam produksi udan TOLERANSI BEBERAPA FAKTOR YANG DICURIGAI TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN DI TAMBAK PRODUKSI UDANG  BBAP UJUNG BATEE Florida Department of Agriculture and Consumers Services.Harbor Branch Oceanographic Institution.