Kekerasan Dalam Rumah Tangga
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Latar belang saya mengambil judul ini lantaran kekerasan rumah tangga sangat berkambang pesat di tengah tengah mesyarakat. Didalam sebuh keluarga yang berperang penting yakni suami namun yang melaksanakan kekerasan kebanyakan dari pihak suami. Kekerasan rumah tangga bukan hanya terjadi di kalangan orang cukup umur namun ada juga anak anak yang tidak berdosa menjadi korban kemarahan san ibu atau sang bapak.
Kenyataan itu menunjukkan, problem kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu ibarat Jawa masalah kekerasan dalam rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik wacana kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia ibarat di Ende dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan lantaran beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai problem yang sangat serius. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna dewan perwakilan rakyat pun masih muncul, ibarat dilansir hukumonline.com. Juru bicara salah satu partai menyebut problem rumah tangga yakni masalah privat. Akibat anggapan ini masalah kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan lantaran menjadi malu setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
1.2 Tujuan
Supaya mahasiswa tau wacana begaimana resikonya kekerasan di dalam rumah tangga.
Dengan adanya makalah ini kita sanggup mempelajari kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasah.
Agar mahasiswa tau jikalau ingin beruma tangga sebaiknya kita pikirkan terlebih dahulu apakah uda siap atau belum.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk sebuah penelitian. Dalam perbincangan dengan kepala rumah sakit tersebut terungkap bahwa dalam setiap bulan petugas rumah sakit setidaknya menemukan satu pasien wanita yang mengalami tindak kekerasan dari suami.
Ungkapan kepala rumah sakit itu mengatakan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga di daerah itu cukup serius sekalipun tidak ditemukan data statistik resmi wacana kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ende. Keseriusan problem di daerah timur Indonesia itu terperinci sama seriusnya dengan yang terjadi di daerah lain di Indonesia.
Seperti diungkap Komnas Perempuan dalam buku Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, menurut laporan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta dari tahun 2001 hingga 2006 tercatat 1.037 masalah kekerasan terhadap istri. Di Jakarta, menurut laporan Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan dari tahun 2000 hingga 2006 tercatat 92 masalah KDRT.
Kenyataan itu menunjukkan, problem kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu ibarat Jawa masalah kekerasan dalam rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik wacana kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia ibarat di Ende dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan lantaran beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai problem privat. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna dewan perwakilan rakyat pun masih muncul, ibarat dilansir hukumonline.com. Juru bicara salah satu partai menyebut problem rumah tangga yakni masalah privat. Akibat anggapan ini masalah kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan lantaran menjadi malu setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
Kedua, tidak ada forum yang memberi layanan pribadi (misalnya, crisis center) yang memberi pendampingan psikologis dan aturan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengalaman di Yogyakarta menunjukkan, sehabis terbentuk Rifka Annisa Women’s Crisis Center yang memberi layanan untuk wanita korban kekerasan, angka KDRT terungkap sekalipun sebelumnya dinilai tidak ada bahkan cenderung ditolak.
Ketiga, tidak ada tunjangan aturan dari negara. Perlindungan aturan meliputi adanya aturan aturan yang terperinci dan abdnegara aturan yang profesional serta ganti rugi yang efektif bagi korban. Ketiadaan aturan aturan yang terperinci sering kali menjadi alasan keengganan abdnegara aturan untuk merespons laporan masalah kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya, masalah kekerasan dalam rumah tangga sering kali menjadi dark number.
Persoalan keterbatasan data statistik wacana KDRT di Indonesia, ibarat disebutkan di atas, tidak serta merata menggugurkan pentingnya undang undang antikekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut UU anti-KDRT) di Indonesia apalagi menghambat proses legislasi yang sedang berlangsung di dewan perwakilan rakyat ketika ini. Faktor ketiadaan aturan aturan (undang-undang) wacana KDRT menjadi salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga menjadi kejahatan tersembunyi.
Peristiwa pembahasan RUU KDRT dalam rapat paripurna dewan perwakilan rakyat itu bukan insiden yang tiba-tiba, akan tetapi merupakan buah usaha banyak sekali kalangan yang peduli dengan masalah kekerasan terhadap wanita yang tergabung dalam Jangka PKTP atau Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Meskipun bermula dari desakan penggagas perempuan, selanjutnya menjadi penting untuk dipahami oleh banyak sekali kalangan di negeri ini bahwa legislasi RUU anti-KDRT merupakan keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi internasional wacana wanita dan bukan lantaran desakan penggagas perempuan.
Anggota dewan perwakilan rakyat dan pemerintah harus memaklumi bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination against women) atau konvensi wacana peniadaan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai konsekuensi dari pengesahan ini Indonesia harus melakukan:
Pembentukan aturan dan atau harmonisasi aturan sesuai kaidah aturan yang terdapat dalam konvensi tersebut. Kewajiban ini dilakukan dengan mengkaji peraturan perundangan atau menciptakan perundangan gres menurut konvensi yang telah diratifikasi.
Penegakan aturan mengenai hak-hak wanita melalui pengadilan nasional dan forum pemerintah lainnya.
Selain itu, anggota dewan perwakilan rakyat dan pemerintah juga harus memahami bahwa legislasi UU anti-KDRT mempunyai nilai strategis bagi upaya peniadaan kekerasan terhadap wanita di Indonesia serta mempunyai nilai politis bagi partai-partai politik di dewan perwakilan rakyat ketika ini.
Nilai strategis peniadaan kekerasan terhadap wanita yakni pertama, dengan diundangkannya UU anti-KDRT akan menggeser gosip KDRT dari gosip privat menjadi gosip publik. Ketika gosip ini telah menjadi gosip publik hal itu diperlukan sanggup meruntuhkan kendala psiko- logis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah alasannya sudah membuka aib.
Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melaksanakan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara sanggup melaksanakan tunjangan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan tunjangan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan.
Adapun nilai politis untuk partai-partai politik, proses legislasi RUU KDRT akan menjadi tolok ukur komitmen partai-partai politik terhadap problem wanita (selain problem kuota) yang akan dijadikan pertimbangan pemilih wanita pada pemilu yang akan datang.
Akhirnya hanya ada dua pilihan bagi anggota DPR, menjadi barisan orang yang menentang kekerasan dalam rumah tangga atau barisan yang membiarkan kekerasan dalam rumah terus berlangsung. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan istri namun serin kali terjadi di kalangan anak – anak Menurut ( sulaiman zuhdi manik )
KabarIndonesia - Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak (KDRTA) bukanlah masalah yang tidak ada terjadi. Malah, menurut monitoring PKPA di Sumatera Utara semenjak 2006 sekarang, keluarga atau orang yang terdekat dengan anak justru merupakan pelaku kekerasan paling lebih banyak didominasi terhadap anak. Bahkan masalah kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak masalah termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, ibarat pembunuhan, penyiksaan hingga mengakibatkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Demikian juga masalah incest atau hubungan seksual sedarah yang dilakukan berulang kali atau hingga berpuluh tahun terjadi. Sementara kasus-kasus kekerasan ibarat memukul, menendang, mencambak, mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap sebagai hal biasa. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.1 FAKTOR APA SELAIN PENDIDIKAN YANG DAPAT MENGATASI MASALAH INI
Itu bias berupah jikalau ada modernisasi. Yang di maksud di sini bukan modernisasi gaya hidup saja, tetapi yang lebih supstentif. Misalnya dangan perubahan nilai –nilai kemanusiaan, contoh piker, wawasan pengetahuan, dan aspek-aspekpentin lainnya.
Tentu ada factor external yang mempengaruhi, Misalnya terpaan media. Kalau sajian media tetap menampilkan wanita sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh pria itu artinya proses penamaan contoh pikir. Karena tampilan-tampilan di televise, contohnya manjadi pembenaran bahwa pria bias di lakukan kekerasan. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.2 APAKAH FACTOR EKONOMI TIDAK DOMINAN
Bisa saja memang penyebab factor ekonomi. Kalau ada masalah ekonomi dan tidak ada kesepakatan, lantas tidak ada komunikasi yang sanggup melahirkan jalan keluar, Bisa saja terjadi kekerasan di dalam rumah tangga.
Kuncinya memang pada komunikasi. Kalau tidak ada komunikasi, lahir stereo typing dan prejudice yang besar di antara dua pihak, lebih besar dari pada keyakinan untuk menuntaskan masalah itu sendiri. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.3 HUKUM KURANG BERPIHAK
Tidak hanya sistem atau budaya dalam masyarakat yang banyak merugikan anak, aturan yang semestinya melindungi justru merugikan dan itu lantaran status mereka belum dewasa atau perempuan. Sebagai anak, mereka belum diakui kapasitas legalnya (legal capacity). Dalam masalah KDRTA dimana pelakunya yakni extended family (keluarga terdekat), terutama ayah-ibu, selain alat bukti yang dimungkinkan tidak cukup, juga untuk masalah tertentu ibarat pemekosaan (pasal 287 KUHP), jikalau anak berumur dibawah 15 tahun maka kasusnya merupakan delik aduan, yang berarti suatu masalah sangat mungkin tidak terungkap dan kalaupun diadukan sewaktu-waktu sanggup dicabut oleh si pengadu, akhir dipengaruhi atau anak mengalami tekanan pisikologis dari keluarganya.
Demi menjaga malu keluarga, lantaran takut kepada orang renta atau lantaran tidak tahu harus melapor kemana, masalah itu sanggup dipendam oleh si anak. Juga bila telah dilaporkan, anak sanggup dipaksa mencabut pengaduannya. Lalu, jikalau kasusnya incest dan terjadi pada anak berusia belum cukup 12 tahun, siapa saksi atau pelapor? Atau bahkan pada usia di atasnya, apakah ia berani melapor ? Apalagi yang dilaporkan ayahnya. Tentu tidak. Hanya jikalau si anak sudah menderita depresi berat gres orang lain mungkin mengetahui, ketika secara pisik dan psikis anak mengalami perubahan Bahkan dalam banyak masalah perkosaan ayah kepada anaknya kesaksian orang cukup umur (termasuk ibu si anak atau keluarga lain) sering hanya bersifat mendengarkan dari orang lain (de auditu) sehingga secara material tidak sanggup dijadikan sebagai alat bukti, apalagi saksi hanya satu orang. Benar, visum et repertum sanggup dijadikan sebagai alat bukti lain, akan tetapi bukankah kerusakan selaput dara tidak harus akhir ada penetrasi ke vagina wanita dan bagaimana pula jikalau perbuatan itu tidak hingga mengakibatkan robeknya selaput dara korban atau telah berlangsung usang dan alat bukti lain (petunjuk) sudah tidak ada? Bukankah juga di Indonesia belum mempunyai UU tunjangan saksi, hingga untuk masalah KDRT jarang sekali ada orang yang mau bersaksi di kepolisian atau pengadilan untuk membela anak, lantaran orang merasa direpotkan atau malah terancam jiwa dan keluarganya jikalau menjadi saksi suatu kasus..
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kekerasan di dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan orang renta tapi terjadi juga di kalangan anak-anak.
2. Hukum Kurang berpihak terhadap orang yang tertimpah masalah kekerasan di dalam rumah tangga.
3. kekerasan rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan bawah tapi terjadi juga di kalangan elit.
4. Selain pendidikan yang sanggup mengatasi masalah ini, Misalnya terpaan media. Kalau sajian media tetap menampilkan wanita sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh laki-laki
5. Kekerasan dalam rumah tangga semakin meluas lantaran aturan di Negara kita sanggup di beli oleh orang-orang elit atau orang kaya.
6. Kekerasan dalalm rumah tangga selalu tidak terunkap karana korban selalu menutupi malu keluarga sehingga hokum susah untuk mengunkapnya,.
3.2 Saran
1. jia di dalam kelurga menerima kekerasan dari orang renta atau sejenisnya sebaikya di laporkan kepihak yang berwajip, dan jangan malu demi kepentingan di sendiri agar pelakunya menerima hokum yang setimpah.
2. Seorang hakim sebaiknya jangan menjual hokum demi kepentingan sendiri.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Latar belang saya mengambil judul ini lantaran kekerasan rumah tangga sangat berkambang pesat di tengah tengah mesyarakat. Didalam sebuh keluarga yang berperang penting yakni suami namun yang melaksanakan kekerasan kebanyakan dari pihak suami. Kekerasan rumah tangga bukan hanya terjadi di kalangan orang cukup umur namun ada juga anak anak yang tidak berdosa menjadi korban kemarahan san ibu atau sang bapak.
Kenyataan itu menunjukkan, problem kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu ibarat Jawa masalah kekerasan dalam rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik wacana kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia ibarat di Ende dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan lantaran beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai problem yang sangat serius. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna dewan perwakilan rakyat pun masih muncul, ibarat dilansir hukumonline.com. Juru bicara salah satu partai menyebut problem rumah tangga yakni masalah privat. Akibat anggapan ini masalah kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan lantaran menjadi malu setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
1.2 Tujuan
Supaya mahasiswa tau wacana begaimana resikonya kekerasan di dalam rumah tangga.
Dengan adanya makalah ini kita sanggup mempelajari kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasah.
Agar mahasiswa tau jikalau ingin beruma tangga sebaiknya kita pikirkan terlebih dahulu apakah uda siap atau belum.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk sebuah penelitian. Dalam perbincangan dengan kepala rumah sakit tersebut terungkap bahwa dalam setiap bulan petugas rumah sakit setidaknya menemukan satu pasien wanita yang mengalami tindak kekerasan dari suami.
Ungkapan kepala rumah sakit itu mengatakan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga di daerah itu cukup serius sekalipun tidak ditemukan data statistik resmi wacana kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ende. Keseriusan problem di daerah timur Indonesia itu terperinci sama seriusnya dengan yang terjadi di daerah lain di Indonesia.
Seperti diungkap Komnas Perempuan dalam buku Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, menurut laporan Rifka Annisa Women’s Crisis Center di Yogyakarta dari tahun 2001 hingga 2006 tercatat 1.037 masalah kekerasan terhadap istri. Di Jakarta, menurut laporan Solidaritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan dari tahun 2000 hingga 2006 tercatat 92 masalah KDRT.
Kenyataan itu menunjukkan, problem kekerasan dalam rumah tangga terjadi melintasi batas-batas ras, suku, agama. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan dominasi masyarakat Jawa yang mayoritas muslim, tetapi juga masyarakat non-Jawa dengan mayoritas nonmuslim. Hanya saja di daerah tertentu ibarat Jawa masalah kekerasan dalam rumah tangga terdokumentasi sementara daerah lain tidak terdokumentasi.
Persoalan ketidaktersediaan data statistik wacana kekerasan dalam rumah di banyak daerah di Indonesia ibarat di Ende dan mungkin di beberapa daerah lain disebabkan lantaran beberapa hal. Pertama, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai problem privat. Anggapan ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, akan tetapi juga di kalangan elite sekalipun. Bahkan dalam ruang rapat paripurna dewan perwakilan rakyat pun masih muncul, ibarat dilansir hukumonline.com. Juru bicara salah satu partai menyebut problem rumah tangga yakni masalah privat. Akibat anggapan ini masalah kekerasan dalam rumah tangga cenderung didiamkan lantaran menjadi malu setiap rumah tangga yang harus ditutup-tutupi.
Kedua, tidak ada forum yang memberi layanan pribadi (misalnya, crisis center) yang memberi pendampingan psikologis dan aturan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Pengalaman di Yogyakarta menunjukkan, sehabis terbentuk Rifka Annisa Women’s Crisis Center yang memberi layanan untuk wanita korban kekerasan, angka KDRT terungkap sekalipun sebelumnya dinilai tidak ada bahkan cenderung ditolak.
Ketiga, tidak ada tunjangan aturan dari negara. Perlindungan aturan meliputi adanya aturan aturan yang terperinci dan abdnegara aturan yang profesional serta ganti rugi yang efektif bagi korban. Ketiadaan aturan aturan yang terperinci sering kali menjadi alasan keengganan abdnegara aturan untuk merespons laporan masalah kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya, masalah kekerasan dalam rumah tangga sering kali menjadi dark number.
Persoalan keterbatasan data statistik wacana KDRT di Indonesia, ibarat disebutkan di atas, tidak serta merata menggugurkan pentingnya undang undang antikekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disebut UU anti-KDRT) di Indonesia apalagi menghambat proses legislasi yang sedang berlangsung di dewan perwakilan rakyat ketika ini. Faktor ketiadaan aturan aturan (undang-undang) wacana KDRT menjadi salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga menjadi kejahatan tersembunyi.
Peristiwa pembahasan RUU KDRT dalam rapat paripurna dewan perwakilan rakyat itu bukan insiden yang tiba-tiba, akan tetapi merupakan buah usaha banyak sekali kalangan yang peduli dengan masalah kekerasan terhadap wanita yang tergabung dalam Jangka PKTP atau Jaringan Kerja Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Meskipun bermula dari desakan penggagas perempuan, selanjutnya menjadi penting untuk dipahami oleh banyak sekali kalangan di negeri ini bahwa legislasi RUU anti-KDRT merupakan keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi internasional wacana wanita dan bukan lantaran desakan penggagas perempuan.
Anggota dewan perwakilan rakyat dan pemerintah harus memaklumi bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination against women) atau konvensi wacana peniadaan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Sebagai konsekuensi dari pengesahan ini Indonesia harus melakukan:
Pembentukan aturan dan atau harmonisasi aturan sesuai kaidah aturan yang terdapat dalam konvensi tersebut. Kewajiban ini dilakukan dengan mengkaji peraturan perundangan atau menciptakan perundangan gres menurut konvensi yang telah diratifikasi.
Penegakan aturan mengenai hak-hak wanita melalui pengadilan nasional dan forum pemerintah lainnya.
Selain itu, anggota dewan perwakilan rakyat dan pemerintah juga harus memahami bahwa legislasi UU anti-KDRT mempunyai nilai strategis bagi upaya peniadaan kekerasan terhadap wanita di Indonesia serta mempunyai nilai politis bagi partai-partai politik di dewan perwakilan rakyat ketika ini.
Nilai strategis peniadaan kekerasan terhadap wanita yakni pertama, dengan diundangkannya UU anti-KDRT akan menggeser gosip KDRT dari gosip privat menjadi gosip publik. Ketika gosip ini telah menjadi gosip publik hal itu diperlukan sanggup meruntuhkan kendala psiko- logis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah alasannya sudah membuka aib.
Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melaksanakan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara sanggup melaksanakan tunjangan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan tunjangan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan.
Adapun nilai politis untuk partai-partai politik, proses legislasi RUU KDRT akan menjadi tolok ukur komitmen partai-partai politik terhadap problem wanita (selain problem kuota) yang akan dijadikan pertimbangan pemilih wanita pada pemilu yang akan datang.
Akhirnya hanya ada dua pilihan bagi anggota DPR, menjadi barisan orang yang menentang kekerasan dalam rumah tangga atau barisan yang membiarkan kekerasan dalam rumah terus berlangsung. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan istri namun serin kali terjadi di kalangan anak – anak Menurut ( sulaiman zuhdi manik )
KabarIndonesia - Kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak (KDRTA) bukanlah masalah yang tidak ada terjadi. Malah, menurut monitoring PKPA di Sumatera Utara semenjak 2006 sekarang, keluarga atau orang yang terdekat dengan anak justru merupakan pelaku kekerasan paling lebih banyak didominasi terhadap anak. Bahkan masalah kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak masalah termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, ibarat pembunuhan, penyiksaan hingga mengakibatkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Demikian juga masalah incest atau hubungan seksual sedarah yang dilakukan berulang kali atau hingga berpuluh tahun terjadi. Sementara kasus-kasus kekerasan ibarat memukul, menendang, mencambak, mencubit dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap sebagai hal biasa. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.1 FAKTOR APA SELAIN PENDIDIKAN YANG DAPAT MENGATASI MASALAH INI
Itu bias berupah jikalau ada modernisasi. Yang di maksud di sini bukan modernisasi gaya hidup saja, tetapi yang lebih supstentif. Misalnya dangan perubahan nilai –nilai kemanusiaan, contoh piker, wawasan pengetahuan, dan aspek-aspekpentin lainnya.
Tentu ada factor external yang mempengaruhi, Misalnya terpaan media. Kalau sajian media tetap menampilkan wanita sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh pria itu artinya proses penamaan contoh pikir. Karena tampilan-tampilan di televise, contohnya manjadi pembenaran bahwa pria bias di lakukan kekerasan. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.2 APAKAH FACTOR EKONOMI TIDAK DOMINAN
Bisa saja memang penyebab factor ekonomi. Kalau ada masalah ekonomi dan tidak ada kesepakatan, lantas tidak ada komunikasi yang sanggup melahirkan jalan keluar, Bisa saja terjadi kekerasan di dalam rumah tangga.
Kuncinya memang pada komunikasi. Kalau tidak ada komunikasi, lahir stereo typing dan prejudice yang besar di antara dua pihak, lebih besar dari pada keyakinan untuk menuntaskan masalah itu sendiri. (Nur Hasyim Peneliti pada Rifka Anissa Research and Training Center Yogyakarta)
2.3 HUKUM KURANG BERPIHAK
Tidak hanya sistem atau budaya dalam masyarakat yang banyak merugikan anak, aturan yang semestinya melindungi justru merugikan dan itu lantaran status mereka belum dewasa atau perempuan. Sebagai anak, mereka belum diakui kapasitas legalnya (legal capacity). Dalam masalah KDRTA dimana pelakunya yakni extended family (keluarga terdekat), terutama ayah-ibu, selain alat bukti yang dimungkinkan tidak cukup, juga untuk masalah tertentu ibarat pemekosaan (pasal 287 KUHP), jikalau anak berumur dibawah 15 tahun maka kasusnya merupakan delik aduan, yang berarti suatu masalah sangat mungkin tidak terungkap dan kalaupun diadukan sewaktu-waktu sanggup dicabut oleh si pengadu, akhir dipengaruhi atau anak mengalami tekanan pisikologis dari keluarganya.
Demi menjaga malu keluarga, lantaran takut kepada orang renta atau lantaran tidak tahu harus melapor kemana, masalah itu sanggup dipendam oleh si anak. Juga bila telah dilaporkan, anak sanggup dipaksa mencabut pengaduannya. Lalu, jikalau kasusnya incest dan terjadi pada anak berusia belum cukup 12 tahun, siapa saksi atau pelapor? Atau bahkan pada usia di atasnya, apakah ia berani melapor ? Apalagi yang dilaporkan ayahnya. Tentu tidak. Hanya jikalau si anak sudah menderita depresi berat gres orang lain mungkin mengetahui, ketika secara pisik dan psikis anak mengalami perubahan Bahkan dalam banyak masalah perkosaan ayah kepada anaknya kesaksian orang cukup umur (termasuk ibu si anak atau keluarga lain) sering hanya bersifat mendengarkan dari orang lain (de auditu) sehingga secara material tidak sanggup dijadikan sebagai alat bukti, apalagi saksi hanya satu orang. Benar, visum et repertum sanggup dijadikan sebagai alat bukti lain, akan tetapi bukankah kerusakan selaput dara tidak harus akhir ada penetrasi ke vagina wanita dan bagaimana pula jikalau perbuatan itu tidak hingga mengakibatkan robeknya selaput dara korban atau telah berlangsung usang dan alat bukti lain (petunjuk) sudah tidak ada? Bukankah juga di Indonesia belum mempunyai UU tunjangan saksi, hingga untuk masalah KDRT jarang sekali ada orang yang mau bersaksi di kepolisian atau pengadilan untuk membela anak, lantaran orang merasa direpotkan atau malah terancam jiwa dan keluarganya jikalau menjadi saksi suatu kasus..
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kekerasan di dalam rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan orang renta tapi terjadi juga di kalangan anak-anak.
2. Hukum Kurang berpihak terhadap orang yang tertimpah masalah kekerasan di dalam rumah tangga.
3. kekerasan rumah tangga tidak hanya terjadi di kalangan bawah tapi terjadi juga di kalangan elit.
4. Selain pendidikan yang sanggup mengatasi masalah ini, Misalnya terpaan media. Kalau sajian media tetap menampilkan wanita sebagai komoditas yang hanya dieksploitasi oleh laki-laki
5. Kekerasan dalam rumah tangga semakin meluas lantaran aturan di Negara kita sanggup di beli oleh orang-orang elit atau orang kaya.
6. Kekerasan dalalm rumah tangga selalu tidak terunkap karana korban selalu menutupi malu keluarga sehingga hokum susah untuk mengunkapnya,.
3.2 Saran
1. jia di dalam kelurga menerima kekerasan dari orang renta atau sejenisnya sebaikya di laporkan kepihak yang berwajip, dan jangan malu demi kepentingan di sendiri agar pelakunya menerima hokum yang setimpah.
2. Seorang hakim sebaiknya jangan menjual hokum demi kepentingan sendiri.