Daerah Ajaran Sungai
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengertian kawasan anutan sungai (DAS) ialah keseluruhan kawasan kuasa (regime) sungai yang menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam bahasa inggris drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang memisahkan sistim anutan yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua pecahan utama kawasan tadah (catchment area) yang membentuk kawasan hulu dan kawasan penyaluran air yang berada di bawah kawasan tadah.
Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat. Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada kekerabatan antara kebutuhan insan dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan insan tersebut.
Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut tidak lagi mencukupi kebutuhan insan maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan insan pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaik-baiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan-kemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan.
Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2) Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diharapkan untuk merencanakan pengelolaan DAS.
1.2 Tujuan
• Agar mahasiswa mengetahui komponen-komponen ekosistem sungai
• Agar mahasiswa sanggup mengetahui interaksi sungai dengan lingkungan sekitarnya.
• Agar mahasiswa sanggup menyebarkan warta wacana ekosistem perairan
• Sebagai persyaratan akademik
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan banyak sekali komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik ialah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berafiliasi erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang memperlihatkan kesatuan.
2.1 Faktor Biotik
Faktor biotik ialah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tanaman maupun hewan. Dalam ekosistem, tanaman berperan sebagai produsen, binatang berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer.
Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Tingkatan-tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistemyang memperlihatkan kesatuan. Secara lebih terperinci, tingkatan organisasi makhluk hidup ialah sebagai berikut. Perhatikan Gambar.
Gbr. Tingkatan Organisasi Makhluk Hidup
2.1.1 Individu
Individu merupakan organisme tunggal ibarat : seekor ikan, seekor katak, sebatang pohon enceng gondok. Dalam mempertahankan hidup, seti jenis dihadapkan pada masalah-masalah hidup yang kritis. Misalnya, seekor binatang harus mendapatkan makanan, mempertahankan diri terhadap musuh alaminya, serta memelihara anaknya. Untuk mengatasi masalah tersebut, organisme harus mempunyai struktur khusus ibarat : duri, sisik, gigi. Hewan juga memperlihatkan tingkah laris tertentu, ibarat membuat sarang atau melaksanakan migrasi.
2.1.2 Populasi
Kumpulan individu sejenis yang hidup padasuatu kawasan dan waktu tertentu disebut populasi Misalnya, populasi pohon kelapa dikelurahan Tegakan pada tahun 1989 berjumlah 2552 batang.
Ukuran populasi berubah sepanjang waktu. Perubahan ukuran dalam populasi ini disebut dinamika populasi. Perubahan ini sanggup dihitung dengan memakai rumus perubahan jumlah dibagi waktu. Hasilnya ialah kecepatan perubahan dalam populasi.
penyebab kecepatan rata-rata dinamika populasi ada banyak sekali hal. Dari alam mungkin disebabkan oleh tragedi alam, serangan penyakit, sedangkan dari insan contohnya lantaran tebas pilih. Namun, intinya populasi mempunyai karakteristik yang khas untuk kelompoknya yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya. Karakteristik iniantara lain : kepadatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju final hidup (mortalitas), potensi biotik, penyebaran umur, dan bentuk pertumbuhan. Natalitas danmortalitas merupakan penentu utama pertumbuhan populasi.
Dinamika populasi sanggup juga disebabkan imigrasi dan emigrasi. Hal ini khusus untuk organisme yang sanggup bergerak, contohnya binatang dan manusia. Imigrasi ialah perpindahan satu atau lebih organisme kedaerah lain atau insiden didatanginya suatu kawasan oleh satu atau lebih organisme; didaerah yang didatangi sudah terdapat kelompok dari jenisnya. Imigrasi ini akan meningkatkan populasi.
2.1.3 Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari banyak sekali populasi yang hidup pada suatu waktu dan kawasan tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas mempunyai derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.
Dalam komunitas, semua organisme merupakan pecahan dari komunitas dan antara komponennya saling berafiliasi melalui keragaman interaksinya.
2.1.4 Ekosistem
Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini membuat kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Komponen penyusun ekosistem ialah produsen (tumbuhan hijau), konsumen (herbivora, karnivora, dan omnivora), dan dekomposer/pengurai (mikroorganisme).
2.1.5 Susunan Ekosistem
Dilihat dari susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut.
a. Komponen autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan).
Autotrof ialah organisme yang bisa menyediakan/mensintesis kuliner sendiri yang berupa materi organik dari materi anorganik dengan pinjaman energi ibarat matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
b. Komponen heterotrof
(Heteros = berbeda, trophikos = makanan). Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan materi tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof ialah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c. Bahan tak hidup (abiotik)
Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai ialah organisme heterotrof yang menguraikan materi organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang sanggup digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai ini ialah basil dan jamur.
2.2 FaktorAbiotik
Faktor abiotik ialah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik utama yang mempengaruhi ekosistem ialah sebagai berikut.
2.2.1 Suhu
Suhu kuat terhadap ekosistem lantaran suhu merupakan syarat yang diharapkan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya sanggup hidup pada kisaran suhu tertentu.
2.2.2 Sinar matahari
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global lantaran matahari menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tanaman sebagai produsen untuk berfotosintesis.
2.2.3 Air
Air kuat terhadap ekosistem lantaran air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diharapkan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi binatang dan manusia, air diharapkan sebagai air minum dan sarana hidup lain, contohnya transportasi bagi manusia, dan tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain, contohnya tanah dan batuan, air diharapkan sebagai pelarut dan pelapuk.
2.2.4 Tanah
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menimbulkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.
2.2.5 Ketinggian
Ketinggian tempat menentukan jenis organisme yang hidup di tempat tersebut, lantaran ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang berbeda.
2.2.6 Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tanaman tertentu.
2.2.7 Garis lintang
Garis lintang yang berbeda memperlihatkan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Garis lintang secara tak pribadi menimbulkan perbedaan distribusi organisme di permukaan bumi. Ada organisme yang bisa hidup pada garis lintang tertentu saja.
2.3 Pengertian DAS dan DAS Sebagai Sistim Ekologi
Banyak definisi wacana sumberdaya (resource) ibarat obtainable reserve supply of desirable thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang sanggup diperoleh) (Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut insan dan kebutuhannya serta perjuangan atau biaya untuk memperolehnya. Oleh lantaran berkaitan dengan kebutuhan manusia, maka sumberdaya mempunyai arti nisbi (relative).
Atas dasar kehadirannya, sumberdaya sanggup dipilahkan ke dalam dua kelompok (1) sumberdaya alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan sumberdaya atas dasar kemantapannya terhadap kegiatan insan : (1) sumberdaya yang sangat mantap, (2) sumberdaya yang cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap. Suatu sumberdaya tertentu sanggup mempunyai nilai kemantapan beragam, tergantung dari gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai badan alam mempuyai nilai kemantapan daripada kesuburannya. Mutu air jauh lebih gampang goyah daripada jumlahnya. Manusia secara terang tidak sanggup mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi ia secara nisbi gampang mencemarkannya.
Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki diri (self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan (renewable), ibarat udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau setempat, air tanah, hutan, dan ikan sanggup menyusut atau habis. Akan tetapi secara keseluruhan, mereka itu tidak akan habis selama faktor-faktor pembentuknya masih tetap berfungsi. Bahkan yang habis di suatu tempat akan sanggup timbul kembali kalau diberi kesempatan cukup. (2) Tak-terbarukan (non-renewable), ibarat minyak bumi, panas dan cebakan mineral.
DAS merupakan adonan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu kekerabatan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS sanggup disebut suatu sistem dan tiap-tiap sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya (component). Kalau kita mendapatkan DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara terpadu (integrated). Arti “terpadu” di sini ialah bahwa keadaan suatu anasir ditentukan oleh dan menentukan keadaan anasir-anasir yang lain.
Yang dinamakan “sistem” ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang saling berafiliasi di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu keseluruhan dalam menghadapi dan menanggapi rangsangan pada pecahan manapun (Dent dkk. 1979; Spedding, 1979). Disamping mempunyai ciri penting berupa ``organisasi dalam`` (internal organization), atau disebut pula dengan ``struktur fungsi`` (fungtional structure), suatu sistem dipisahkan ``batas system`` dari sistem yang lain. Batas ini memisahkan sistem dari lingkungannya, atau memisahkan sistem yang satu dari yang lain. “Lingkungan” ialah keseluruhan keadaan dan efek luar (external), yang berdaya (affect) batas hidup, perkembngan dan ketahanan hidup (survival) suatu sistem (De Santo,1978).
Anasir-anasir DAS ialah iklim hayati (bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral, tanah, air (air permukaan dan air tanah), tetumbuhan (flora), binatang (fauna), insan dan banyak sekali sumberdaya budaya ibarat sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm), dan sebagainya. Berbagai anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas sangat mempengaruhi banyak sekali aspek dalam sistim DAS. Sebagai contoh, relief sanggup mempengaruhi distribusi lengas tanah dan usang penyinaran matahari. Tanah dan relief mempengaruhi keadaan hidrologi permukaan, keadaan vegetasi dan keadaan sumberdaya budaya. Iklim ikut mengendalikan keadaan vegetasi dan sumberdaya budaya.
DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan sanggup dimanfaatkan oleh insan untuk banyak sekali peruntukan. Setiap anasir dalam DAS memerlukan cara penanganan yang berbeda-beda tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing. Sebagai contoh, ketrampilan dan pengetahuan anasir insan sanggup menyuburkan tanah yang tadinya gersang. Namun lantaran berlainan kepentingan, maka sanggup terjadi bahwa suatu tindakan yang baik untuk suatu anasir DAS tertentu justru akan merugikan kalau diterapkan pada anasir DAS yang lain. Sebagai contoh, penanaman jalur hijau untuk melindungi tebing anutan terhadap pengikisan atau longsoran, sanggup mendatangkan kerugian atas pengawetan sumberdaya air lantaran meningkatkan transpirasi yang membuang sebagian air yang dialirkan. Hal ini memperlihatkan bahwa perencanaan pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif, yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the combined output) dari pada pemaksimuman salah satu keluaran saja.
DAS yang mempunyai gatra ruang (space) atau luas (size), bentuk (form), ketercapaian (accessibility) dan keterlintasan (trafficability). Gatra-gatra ini menyangkut nilai ekonomi penggunaan DAS, lantaran menentukan tingkat peluang berusaha dalam DAS, nilai hasil perjuangan dan kedudukan nisbi DAS selaku sumberdaya dibanding dengan DAS yang lain. Gatra-gatra ruang, bentuk, ketercapaian dan keterlintasan bantu-membantu dengan harkat anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas, menentukan kedudukan DAS dalam urutan prioritas pengembangan,. Keunikan dan keberagaman DAS menimbulkan banyak sekali pertimbangan dalam penggunaan alternatif berdasarkan kepentingan yang berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan keinginan. Macam dan jumlah kebutuhan serta impian merupakan fungsi waktu dan tempat. Maka dari itu pengertian wacana makna waktu dan tempat sangat menentukan ketepatan perencanaan tataguna DAS. Tanpa perencanaan tataguna yang memadai, penggunaan DAS sanggup menjurus ke arah persaingan antar banyak sekali kepentingan, yang alhasil hanya akan saling merugikan, dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang tidak terkendalikan.
2.4 Hakekat Das Sebagai Dasar Dalam Pengelolaannya
Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air, mendistribusikan air yang tertampung lewat suatu sistem jalan masuk dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu badan air berupa danau atau laut. Barsama dengan atmosfir dan maritim (atau danau), DAS menjadi tempat kelangsungan daur hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfir dan badan air bumi sanggup berjalan secara langsung, atau lewat peranan DAS. Terjadi pula kekerabatan hidrologi lansung antara DAS dan atmosfir. Hubungan hidrologi segitiga antara atmosfir, DAS dan badan air bumi (laut) disajikan pada Gambar 1. Bagan ini memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung dua waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut. Ini menjadi dasar pertama dalam pengelolaan DAS.
Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik yang cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang lahan (landscape) khas di banyak sekali wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di dalam DAS sanggup dikaji berdasar pertukaran materi dan energi (Leopold dkk, 1964). Hal ini menjadi dasar kedua dalam pengelolaan DAS. Gambar 2 merupakan contoh DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran materi dan energi.
Atmosfir
DAS Tubuh Air Bumi
(laut atau danau)
hubungan erat
hubungan terbatas
Gambar 1. Hubungan hidrologi yang disederhanakan antara atmosfir, DAS, dan badan air bumi.
Gambar 2. Acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran materi dan energi.
Setiap DAS cenderung memperluas diri, baik dengan jalan pengikisan mundur dan/atau menyamping di kawasan hulu, maupun dengan jalan pengendapan di kawasan hilir, termasuk pembentukan jalur berkelok (meander) di dataran pantai dan pembentukan delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini maka DAS merupakan suatu satuan geomorfologi yang bersifat sangat dinamik, dibuat oleh proses- proses fluvial dan memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua proses yang saling berlawanan. Proses yang satu ialah degradasi (penurunan) di kawasan hulu dan proses yang lain ialah agradasi (peningkatan) di kawasan hilir. Dengan demikian ada proses perpindahan material dari hulu ke hilir. Salah satu hasil morfogenesa penting semacam ini ialah pembentukan bentang tanah atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap DAS. Keadaan ini merupakan dasar ketiga dalam pengelolaan DAS.
Di depan telah diuraikan wacana banyak sekali gatra dan keaneka ragaman pemanfaatan DAS. Hal ini merupakan dasar keempat dalam pengelolaan DAS.
Dari dasar pengelolaan pertama dan kedua mengandung suatu pengertian penting, bahwa DAS merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Hal ini sanggup dilihat dari berfungsinya interaksi luar (functioning of external interactions), yang berdasarkan De Santo (1978) merupakan kategori kedua yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem. Dasar pengelolaan kedua, ketiga dan keempat menunjuk kepada suatu pengertian penting berikutnya, bahwa DAS merupakan suatu sistem peubah energi (energy transformer). Hal ini sanggup dipandang adanya interaksi berfungsinya faktor-faktor internal (functioning of internal interactions). Yang berdasarkan De Santo (1978) merupakan kategori pertama yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem.
2.5 Dasar-Dasar Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS biasanya mengacu pada pengelolaan dua anasirnya (component) yang dianggap terpenting, yaitu sumberdaya tanah dan air. Adapun anasir yang lain, ibarat iklim, vegetasi, relief dan manusia, diharapkan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan.
Maksud pengelolaan DAS ialah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang berdasarkan waktu. Dalam ungkapan “sesuai dengan kemampuannya” tersirat pengertian selaras dan lestari. Ungkapan “manfaat lengkap” dan “kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang berdasarkan waktu” mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran DAS dilarang hanya bermacam tunggal, akan tetapi harus terdiri atas banyak sekali hasil keluaran yang berkombinasi secara optimum, dan (2) planning pengelolaan harus bersifat elastis (flexible) yang berisi sejumlah alternatif.
Untuk mengarahkan pengelolaan, diharapkan tiga unsur pengarah. Yang pertama diharapkan ialah variable-variabel keputusan (decision variables), yang menjadi sumber pembuatan alternatif. Yang kedua diharapkan ialah maksud dan tujuan (objectives), ini sanggup sebuah atau lebih. Yang ketiga ialah hambatan (constraint), yang membatasi gerak variabel-variabel keputusan dalam membuat alternatif-alternatif untuk mencapai maksud dan tujuan yang ditetapkan. Khusus mengenai pengelolaan DAS, yang sanggup digunakan sebagai variebel-variabel keputusan ialah (1) keempat dasar untuk pengelolaan DAS yang telah disebutkan terdahulu (DAS selaku penghubung dua waduk air alam utama, kehadiran DAS didukung oleh kegiatan pertukaran materi dan energi, DAS berkembang melalui proses perubahan dalam dan DAS bergatra ganda yang sanggup dimanfaatkan untuk banyak sekali peruntukan), (2) pemanfaatan DAS harus sanggup menimbulkan pemerataan manfaat antara kawasan hulu dan hilir, dan (3) pengembangan DAS harus sanggup memperlihatkan sumbangan bagi kepentingan regional dan atau nasional. Maksud atau tujuan pengelolaan DAS telah disebutkan di atas. Yang sanggup ditunjuk sebagai hambatan terhadap perkembangan DAS ialah iklim, relief, tanah, air, sumberdaya mineral, vegetasi, beberapa gatra tertentu manusia, ruang/luas, bentuk, ketercapaian dan keterlindasan. Pendek kata semua anasir DAS yang dikenai atau terlibat dalam pengelolaan.
Dalam planning pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan pengelolaan hulu meliputi seluruh kawasan tadah atau kawasan kepala sungai. Satuan pengelolaan hilir meliputi seluruh kawasan penyaluran air atau kawasan bawahan. Oleh Ray dan Arora (1973) istilah “watershed” digunakan secara terbatas untuk menamai kawasan tadah, sedang kawasan bawahan mereka namakan dengan istilah “commanded area”. Yang dinamakan “commended area” ialah daerah-daerah yang secara potensial berpengairan. Di DAS yang sanggup dibangun suatu bendungan atau waduk maka seluruh kawasan yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang terletak dibawah garis tinggi pintu bendungan atau waduk) merupakan “commended area”.
Pengelolaan kawasan tadah ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut ini (Roy &Arora, 1973): (1) Pengendalian anutan permukaan tanah (excess) yang merusak, sebagai perjuangan mengendalikan banjir, (2) Memperlancar infiltrasi air kedalam tanah. (3) Mengusahakan pemanfaatan anutan permukaan untuk maksud-maksud yang berguna, (4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan produksi.
Faktor-faktor yang berdaya (affect) atas kegiatan pengelolaan kawasan tadahan atau DAS hulu ialah (Roy & Arora, 1973): (1) Bentuk dan luas kawasan tadahan, (2) Lereng dan timbulan makro (3) Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan (5) Rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) Penggunaan lahan terkini.
Tujuan pengelolaan DAS hilir sanggup diringkas sebagai berikut: (1) Mencegah atau mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan kemampuan lahan.(2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk meningkatkan kemampuannya. (3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber air tersediakan. (4) Meliorasi tanah, termasuk memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi tanah atas tanah-tanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah.
Faktor-faktor pokok yang berdaya atas kegiatan pengelolaan kawasan hilir ialah: (1) Bentuk kawasan hilir dan perbandingan luasnya dengan luas kawasan tadahan.(2) Perbedaan landaian (gradient) lereng umum kawasan hilir terhadap landaian lereng umum kawasan tadahan. (3) Timbulan makro, ketinggian muka lahan pukul rata, jeluk (depth) pukul rata air tanah, dan keadaan tanah. (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan.(5) Rupa dan vegetasi penutup. (6) Penggunaan lahan kini.
Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan pecahan terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, lantaran hal itu akan menentukan laba yang sanggup diperoleh, atau kesempatan yang terbuka, dalam pengelolaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir menentukan seberapa besar laba yang secara potensial sanggup diperoleh lantaran pengelolaan DAS hulu benar-benar terwujudkan. Dengan kata lain, pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu.
Hubungan ini sanggup digambarkan pada Gambar 3. Dari pecahan ini tampak, bahwa pengelolaan DAS hulu bertujuan rangkap: (1) meningkatkan harkatnya sebagai lahan perjuangan dan atau lahan permukiman, dan (2) memperbaiki dampaknya atas DAS hilir untuk memperluas peluang memperbaiki keadaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir berperanan melipatkan efek perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan ekologi maka kawasan hulu dikelola sebagai kawasan penyumbang (donor) materi dan energi, atau boleh juga disebut sebagai lingkungan pengendali (conditioning environtment). Sementara itu, kawasan hilir merupakan kawasan akseptor (acceptor) materi dan energi, atau lingkungan konsumsi atau lingkungan yang dikendalikan (commanded environment). Dengan demikian pengelolaan DAS harus bersifat menyeluruh dan sanggup memadukan pecahan hulu dan hilir menjadi satu sistem.
Gambar 3. Bagan kekerabatan antara pengelolaan DAS hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS terpadu
2.6 Data Dasar Yang Diperlukan Dalam Pengelolaan DAS
Penanganan sumberdaya untuk pemanfaatannya memerlukan data dasar sebagai pangkal otak. Demikian pula halnya dengan pengelolaan DAS. Data dasar (baseline data) ialah sekumpulan keterangan hakiki wacana suatu masalah (matter) yang relevan dengan etika (nature) masalah itu. Data itu sanggup berupa ciri (characteristic) atau terukur (measureable). Mutu tidak sanggup diamati atau diukur secara langsung, lantaran ditentukan oleh saling tindak sejumlah sifat, dan hanya sanggup diketahui, dirasakan atau dinilai dari akhir atau perwujudan (manifestation) yang ditimbulkan. Yang dimaksud dengan akhir atau perwujudan ialah tindakannya dalam mempengaruhi kecocokan sumberdaya (DAS, lahan) bagi suatu penggunaan tertentu. Taraf kepentingan nisbi tiap sifat yang menentukan suatu mutu tertentu, bergantung pada keadaan lingkungan (Brinkman dan Smyth, 1973). Misalnya, erodibilitas tanah sebagai mutu ditentukan bersama oleh faktor-faktor kemiringan dan panjang lereng, permeabilitas tanah, dan kemantapan struktur tanah. Taraf kepentingan nisbi permeabilitas tanah menjadi menonjol dalam lingkungan iklim basah. Dalam lingkungan iklim kering, yang mana pengikisan angin menjadi bentuk pengikisan pokok, tinggal kemantapan struktur tanahlah yang menjadi faktor yang menonjol. Erosivitas hujan bersama dengan erodibilitas tanah menentukan mutu lahan yang disebut kerentanan lahan terhadap pengikisan air. Macam mutu yang lain antara lain kesuburan tanah, iklim, kebersihan air, keterlindasan (trafficability), dan keramah tamahan penduduk. Mutu sanggup diharkatkan dengan sebutan (buruk, sedang, baik) atau dengan nilai tertentu (scoring).
Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir atau gatra DAS yang penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS. Macam data yang sekurang-kurangnya harus dikumpulkan ialah:
(1) Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah berdasarkan hidrologi lahan).
(2) Erosivitas hujan dan erodibilitas tanah, untuk daerah-daerah beriklim kering, erosivitas hujan diganti dengan erosivitas angin.
(3) Keadaan iklim hayati, yang meliputi agihannya berdasarkan tinggi tempat dan kedudukan topografi.
(4) Proses fluvial dalam geomorfologi (erosi, sedimentasi, hidrolika sungai, pembentukan delta, dataran banjir, dataran interfluvial, dataran estuarin, bentukan morfologi destruktif, ibarat lembah, peneplain, morfologi karst, dsb).
(5) Kemampuan lahan untuk pertanian, baik produktivitas maupun potensialitasnya.
(6) Tataguna lahan sekarang dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air kini.
(7) Ketercapaian wilayah dan keterlintasan.
(8) Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata pencaharian, kemampuan usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga, tingkat kesehatan, dan mobilitas penduduk.
(9) Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan teknologi.
Dari analisa dan evaluasi data dasar akan diperoleh pengetahuan, kesimpulan atau petunjuk wacana :
(1) Tingkat peluang dan prospek pengembangan.
(2) Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan kerjasama dengan DAS tetangga dengan maksud saling mengisi.
(3) Macam dan jumlah masukan yang diperlukan.
(4) Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan suasana yang harmonis bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya, maupun untuk pentahapan pembangunan secara bernalar berdasarkan tempat dan waktu.
Dari macam ragam data dasar yang diharapkan sanggup disimpulkan bahwa pengelolaan DAS harus dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan multidisiplin ialah suatu titik tolak pandangan atau sikap, atau kerangka pendekatan, yang memadukan banyak sekali bidang pengetahuan yang relevan dengan etika dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik. Agar biar sistem analitik ini sanggup berfungsi efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam kerangka kerja. Unsur-unsur tersebut sanggup diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan pertimbangan hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain yang berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut pertama tadi memperlihatkan masukan kepada unsur berikutnya yang berkedudukan hirarki lebih rendah.
Sistem analitik ibarat ini mempunyai struktur bertingkat. Biasanya pengumpulan data dasar dan analisa kualitatif fisik berada pada tingkat atas (langkah kerja pertama), dan memperlihatkan masukan kepada analisa sosial-ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah kerja kedua). Maka system analisa ibarat ini disebut pula “pendekatan bertingkat dua”. Dapat pula analisa semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki tunggal), dan sistemnya dinamakan “pendekatan sejajar” (ILRI, 1977).
Kedua macam pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pendekatan bertingkat atau sedikit demi sedikit bersifat lebih terarah, mempunyai urutan kegiatan yang terang tanpa langkah-langkah yang saling berhimpitan. Dengan demikian ia bersifat lebih fleksibel dalam hal penganggaran penghasilan kegiatan survai dan pengumpulan data pada hal-hal yang pribadi diharapkan untuk analisa dan pengharkatan. Penghampiran sejajar sering menghambat analisa tuntas mengenai kemampuan menyeluruh (ultimate capability) suatu sumberdaya, lantaran terjerat dalam pertimbangan sosial-ekonomi yang membuat batasan tempat dan waktu. Dengan demikian prospek mutlak suatu sumberdaya tidak terungkapkan. Untuk keperluan pengharkatan lahan, FAO dan International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), menentukan pendekatan sedikit demi sedikit (ILRI, 1977). Penulis juga memperoleh pengalaman yang memuaskan dalam menerapkan penghampiran sedikit demi sedikit ini. Bidang sosial-ekonomi boleh saja ditangani pada tahap pertama kegiatan bantu-membantu dengan bidang fisik, asal saja terbatas pada pengumpulan data dasar.
Dalam menghubungkan asas kepaduan disiplin dengan pengelolaan DAS, Martin (1970) dalam kata pengantarnya untuk Symposium on The Interdisciplinary Aspects of Watershed Management di Montana State University mengemukakan bahwa “…professional from the many different disciplines will … work in concert to bring about total watershed managenent”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maksud pengelolaan DAS ialah untuk mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang berdasarkan waktu. Mengingat bahwa DAS merupakan suatu system yang terbentuk dari adonan sumberdaya yang saling berkaitan dan berinteraksi, maka dalam pengelolaannya harus memperhatikan semua anasir-anasir penyusunnya. Karena DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran daripada pemaksimuman salah satu keluaran saja. Oleh lantaran itu, pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna mendapatkan manfaat sebaik-baiknya. Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi, diharapkan pengelolaan DAS akan sanggup lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Brinkman, R. dan Smith, A.J. (1979). Land evaluation for rural purpose. ILRI Publ. No. 17. Wageningen.
Dawes, J.H. (1970). Influence of soil on water yield. Proc. Symp. Interdisc. Aspects Watershed Management. Mon. State University.
Dent, J.B., Blackie, M.J. & Harrison, S.R.(1979). System simulation in agriculture. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
De Santo. R.S. (1978). Concept of applied ecology. Springer-Verlag, New York.
ILRI. (1977). Framework for land evaluation. Inter. Land Recl. Improv. Wageningen
Leopold, L.B., Wolman, MG. Dan Miller, J.P. (1964). Fluvial processes in geomorphology. WH. Freeman and Co. San Fransisco.
Martin, G.L. 1970. Introduction. Proc. Symp. Interdisc. Ascept Watershed Man. Mon. State Univ. h. 1-2. Amer. Soc. Civ. E. New York.
Meinzer, O.E. 1942. Ground Water. Dalam: Meinzer, O.E., Editor, Hydrology. Ch. XA. Dover Publ. Inc. New York.
Menard, H.W. 1974. Geology. resources, and society. W. H. Freeman and Co. San Francisco.
Michigan State Univ. 1976. Design and management of rural ecosystems. ASRA Information Resosurces, National Science Foundation. Wasington, D. C.
Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. Logman. London.
Nelson, A. & Nelson, K. D. 1973. Dictionary of water and water engineering Butterwarths & Co, Ltd. London.
Notohadiprawiro, T. 1977. Suatu cara pengharkatan cepat tapak darat (land site) bagipendirian pemukiman baru. Kongres Nasional Ilmu Tanah II. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Yogyakarta.
_______________ 1980. Penghijauan : kontroversi yang berkepanjangan. Seminar Penghijauan P. I. P. R. / R. S. D. C. Yogyakarta.
___________, & Drajad, M. 1980. Rancangan penjabaran kemampuan lahan untuk permukiman ketanian. Rancangan pertama. Dep. I. Tanah. Fak. Pert. UGM. Belum diterbitkan.
___________, Sukodarmodjo, S., & Drajad, M. 1980. Beberapa fakta dan angka wacana lingkungan fisik waduk Wonogiri dan kepentingannya sebagai dasar pengelolaan. Lokakarya Pengembangan dan Pelestarian Wilayah Waduk Wonogiri. Tawangmangu.
Oldeman, R. A. A. 1979. Blueprints for a new tropical agroforestry tradition. Proc. 50th Symp. Trop. Agr. Bull. 303. Kon. Inst. Tropen. Amsterdam. H. 25-34.
Rqy, K. & Arora, D.R. 1973. Technology of agricultural land development and water management. Satya pakashan. Tech. India Publ. New Delhi.
Soepraptohardjo, M. & Robinson, G. H., editors. 1975. A proposed land capability appraisal system for agricultural uses in Indonesia. Soil. Inst. Bogor.
Steele, J. G. 1967. Soil suvey interpretation and iats use. Fao Soil Bull. No. 8.
Storie, R. E. 1964. Handbook of soil evaluation. Assoc. Students Store. Univ. Calif. Berkeley.
Spedding, C. R. W. 1979. An introduction to agricultural systems. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
Wassink, J. T. 1979. Agroforestry, een samenspel van land- en bosbouw ten behoeve van de mens en zijn milieu. 67e Jaarverslag Kon. Inst. Tropen Amsterdam.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Pada kenyataanya sulit sekali pengelolaan DAS didasarkan pada batas-batas administrasi. Dengan adanya Otonomi Daerah maka ada bentrok antara DAS hulu dengan DAS hilir.
2. Saran (Masyarakat yang berada di hilir membayar ke kawasan hulu).
3. Yang diuraikan tadi hanya masih dalam teori-teori DAS saja, tetapi aplikasinya belum.
4. Karakteristik anutan sungai akan kita angkat sebagai variable utama.
Tanggapan :
1. Memang benar, bahwa yang disampaikan hanya bersifat teoritis, tetapi ini berfungsi untuk meningkatkan kesadaran kita.
2. Saran-saran kami terima untuk dipertimbangkan.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengertian kawasan anutan sungai (DAS) ialah keseluruhan kawasan kuasa (regime) sungai yang menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam bahasa inggris drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang memisahkan sistim anutan yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua pecahan utama kawasan tadah (catchment area) yang membentuk kawasan hulu dan kawasan penyaluran air yang berada di bawah kawasan tadah.
Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat. Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada kekerabatan antara kebutuhan insan dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan insan tersebut.
Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut tidak lagi mencukupi kebutuhan insan maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan insan pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaik-baiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan-kemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan.
Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2) Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diharapkan untuk merencanakan pengelolaan DAS.
1.2 Tujuan
• Agar mahasiswa mengetahui komponen-komponen ekosistem sungai
• Agar mahasiswa sanggup mengetahui interaksi sungai dengan lingkungan sekitarnya.
• Agar mahasiswa sanggup menyebarkan warta wacana ekosistem perairan
• Sebagai persyaratan akademik
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan banyak sekali komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik ialah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berafiliasi erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang memperlihatkan kesatuan.
2.1 Faktor Biotik
Faktor biotik ialah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tanaman maupun hewan. Dalam ekosistem, tanaman berperan sebagai produsen, binatang berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer.
Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Tingkatan-tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistemyang memperlihatkan kesatuan. Secara lebih terperinci, tingkatan organisasi makhluk hidup ialah sebagai berikut. Perhatikan Gambar.
Gbr. Tingkatan Organisasi Makhluk Hidup
2.1.1 Individu
Individu merupakan organisme tunggal ibarat : seekor ikan, seekor katak, sebatang pohon enceng gondok. Dalam mempertahankan hidup, seti jenis dihadapkan pada masalah-masalah hidup yang kritis. Misalnya, seekor binatang harus mendapatkan makanan, mempertahankan diri terhadap musuh alaminya, serta memelihara anaknya. Untuk mengatasi masalah tersebut, organisme harus mempunyai struktur khusus ibarat : duri, sisik, gigi. Hewan juga memperlihatkan tingkah laris tertentu, ibarat membuat sarang atau melaksanakan migrasi.
2.1.2 Populasi
Kumpulan individu sejenis yang hidup padasuatu kawasan dan waktu tertentu disebut populasi Misalnya, populasi pohon kelapa dikelurahan Tegakan pada tahun 1989 berjumlah 2552 batang.
Ukuran populasi berubah sepanjang waktu. Perubahan ukuran dalam populasi ini disebut dinamika populasi. Perubahan ini sanggup dihitung dengan memakai rumus perubahan jumlah dibagi waktu. Hasilnya ialah kecepatan perubahan dalam populasi.
penyebab kecepatan rata-rata dinamika populasi ada banyak sekali hal. Dari alam mungkin disebabkan oleh tragedi alam, serangan penyakit, sedangkan dari insan contohnya lantaran tebas pilih. Namun, intinya populasi mempunyai karakteristik yang khas untuk kelompoknya yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya. Karakteristik iniantara lain : kepadatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju final hidup (mortalitas), potensi biotik, penyebaran umur, dan bentuk pertumbuhan. Natalitas danmortalitas merupakan penentu utama pertumbuhan populasi.
Dinamika populasi sanggup juga disebabkan imigrasi dan emigrasi. Hal ini khusus untuk organisme yang sanggup bergerak, contohnya binatang dan manusia. Imigrasi ialah perpindahan satu atau lebih organisme kedaerah lain atau insiden didatanginya suatu kawasan oleh satu atau lebih organisme; didaerah yang didatangi sudah terdapat kelompok dari jenisnya. Imigrasi ini akan meningkatkan populasi.
2.1.3 Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari banyak sekali populasi yang hidup pada suatu waktu dan kawasan tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas mempunyai derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.
Dalam komunitas, semua organisme merupakan pecahan dari komunitas dan antara komponennya saling berafiliasi melalui keragaman interaksinya.
2.1.4 Ekosistem
Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini membuat kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Komponen penyusun ekosistem ialah produsen (tumbuhan hijau), konsumen (herbivora, karnivora, dan omnivora), dan dekomposer/pengurai (mikroorganisme).
2.1.5 Susunan Ekosistem
Dilihat dari susunan dan fungsinya, suatu ekosistem tersusun atas komponen sebagai berikut.
a. Komponen autotrof
(Auto = sendiri dan trophikos = menyediakan makan).
Autotrof ialah organisme yang bisa menyediakan/mensintesis kuliner sendiri yang berupa materi organik dari materi anorganik dengan pinjaman energi ibarat matahari dan kimia. Komponen autotrof berfungsi sebagai produsen, contohnya tumbuh-tumbuhan hijau.
b. Komponen heterotrof
(Heteros = berbeda, trophikos = makanan). Heterotrof merupakan organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai makanannya dan materi tersebut disediakan oleh organisme lain. Yang tergolong heterotrof ialah manusia, hewan, jamur, dan mikroba.
c. Bahan tak hidup (abiotik)
Bahan tak hidup yaitu komponen fisik dan kimia yang terdiri dari tanah, air, udara, sinar matahari. Bahan tak hidup merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup.
d. Pengurai (dekomposer)
Pengurai ialah organisme heterotrof yang menguraikan materi organik yang berasal dari organisme mati (bahan organik kompleks). Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang sanggup digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai ini ialah basil dan jamur.
2.2 FaktorAbiotik
Faktor abiotik ialah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik utama yang mempengaruhi ekosistem ialah sebagai berikut.
2.2.1 Suhu
Suhu kuat terhadap ekosistem lantaran suhu merupakan syarat yang diharapkan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya sanggup hidup pada kisaran suhu tertentu.
2.2.2 Sinar matahari
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global lantaran matahari menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tanaman sebagai produsen untuk berfotosintesis.
2.2.3 Air
Air kuat terhadap ekosistem lantaran air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diharapkan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi binatang dan manusia, air diharapkan sebagai air minum dan sarana hidup lain, contohnya transportasi bagi manusia, dan tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain, contohnya tanah dan batuan, air diharapkan sebagai pelarut dan pelapuk.
2.2.4 Tanah
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menimbulkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.
2.2.5 Ketinggian
Ketinggian tempat menentukan jenis organisme yang hidup di tempat tersebut, lantaran ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang berbeda.
2.2.6 Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tanaman tertentu.
2.2.7 Garis lintang
Garis lintang yang berbeda memperlihatkan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Garis lintang secara tak pribadi menimbulkan perbedaan distribusi organisme di permukaan bumi. Ada organisme yang bisa hidup pada garis lintang tertentu saja.
2.3 Pengertian DAS dan DAS Sebagai Sistim Ekologi
Banyak definisi wacana sumberdaya (resource) ibarat obtainable reserve supply of desirable thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang sanggup diperoleh) (Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut insan dan kebutuhannya serta perjuangan atau biaya untuk memperolehnya. Oleh lantaran berkaitan dengan kebutuhan manusia, maka sumberdaya mempunyai arti nisbi (relative).
Atas dasar kehadirannya, sumberdaya sanggup dipilahkan ke dalam dua kelompok (1) sumberdaya alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan sumberdaya atas dasar kemantapannya terhadap kegiatan insan : (1) sumberdaya yang sangat mantap, (2) sumberdaya yang cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap. Suatu sumberdaya tertentu sanggup mempunyai nilai kemantapan beragam, tergantung dari gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai badan alam mempuyai nilai kemantapan daripada kesuburannya. Mutu air jauh lebih gampang goyah daripada jumlahnya. Manusia secara terang tidak sanggup mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi ia secara nisbi gampang mencemarkannya.
Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki diri (self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan (renewable), ibarat udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau setempat, air tanah, hutan, dan ikan sanggup menyusut atau habis. Akan tetapi secara keseluruhan, mereka itu tidak akan habis selama faktor-faktor pembentuknya masih tetap berfungsi. Bahkan yang habis di suatu tempat akan sanggup timbul kembali kalau diberi kesempatan cukup. (2) Tak-terbarukan (non-renewable), ibarat minyak bumi, panas dan cebakan mineral.
DAS merupakan adonan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu kekerabatan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS sanggup disebut suatu sistem dan tiap-tiap sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya (component). Kalau kita mendapatkan DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara terpadu (integrated). Arti “terpadu” di sini ialah bahwa keadaan suatu anasir ditentukan oleh dan menentukan keadaan anasir-anasir yang lain.
Yang dinamakan “sistem” ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang saling berafiliasi di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu keseluruhan dalam menghadapi dan menanggapi rangsangan pada pecahan manapun (Dent dkk. 1979; Spedding, 1979). Disamping mempunyai ciri penting berupa ``organisasi dalam`` (internal organization), atau disebut pula dengan ``struktur fungsi`` (fungtional structure), suatu sistem dipisahkan ``batas system`` dari sistem yang lain. Batas ini memisahkan sistem dari lingkungannya, atau memisahkan sistem yang satu dari yang lain. “Lingkungan” ialah keseluruhan keadaan dan efek luar (external), yang berdaya (affect) batas hidup, perkembngan dan ketahanan hidup (survival) suatu sistem (De Santo,1978).
Anasir-anasir DAS ialah iklim hayati (bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral, tanah, air (air permukaan dan air tanah), tetumbuhan (flora), binatang (fauna), insan dan banyak sekali sumberdaya budaya ibarat sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm), dan sebagainya. Berbagai anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas sangat mempengaruhi banyak sekali aspek dalam sistim DAS. Sebagai contoh, relief sanggup mempengaruhi distribusi lengas tanah dan usang penyinaran matahari. Tanah dan relief mempengaruhi keadaan hidrologi permukaan, keadaan vegetasi dan keadaan sumberdaya budaya. Iklim ikut mengendalikan keadaan vegetasi dan sumberdaya budaya.
DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan sanggup dimanfaatkan oleh insan untuk banyak sekali peruntukan. Setiap anasir dalam DAS memerlukan cara penanganan yang berbeda-beda tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing. Sebagai contoh, ketrampilan dan pengetahuan anasir insan sanggup menyuburkan tanah yang tadinya gersang. Namun lantaran berlainan kepentingan, maka sanggup terjadi bahwa suatu tindakan yang baik untuk suatu anasir DAS tertentu justru akan merugikan kalau diterapkan pada anasir DAS yang lain. Sebagai contoh, penanaman jalur hijau untuk melindungi tebing anutan terhadap pengikisan atau longsoran, sanggup mendatangkan kerugian atas pengawetan sumberdaya air lantaran meningkatkan transpirasi yang membuang sebagian air yang dialirkan. Hal ini memperlihatkan bahwa perencanaan pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif, yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the combined output) dari pada pemaksimuman salah satu keluaran saja.
DAS yang mempunyai gatra ruang (space) atau luas (size), bentuk (form), ketercapaian (accessibility) dan keterlintasan (trafficability). Gatra-gatra ini menyangkut nilai ekonomi penggunaan DAS, lantaran menentukan tingkat peluang berusaha dalam DAS, nilai hasil perjuangan dan kedudukan nisbi DAS selaku sumberdaya dibanding dengan DAS yang lain. Gatra-gatra ruang, bentuk, ketercapaian dan keterlintasan bantu-membantu dengan harkat anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas, menentukan kedudukan DAS dalam urutan prioritas pengembangan,. Keunikan dan keberagaman DAS menimbulkan banyak sekali pertimbangan dalam penggunaan alternatif berdasarkan kepentingan yang berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan keinginan. Macam dan jumlah kebutuhan serta impian merupakan fungsi waktu dan tempat. Maka dari itu pengertian wacana makna waktu dan tempat sangat menentukan ketepatan perencanaan tataguna DAS. Tanpa perencanaan tataguna yang memadai, penggunaan DAS sanggup menjurus ke arah persaingan antar banyak sekali kepentingan, yang alhasil hanya akan saling merugikan, dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang tidak terkendalikan.
2.4 Hakekat Das Sebagai Dasar Dalam Pengelolaannya
Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air, mendistribusikan air yang tertampung lewat suatu sistem jalan masuk dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu badan air berupa danau atau laut. Barsama dengan atmosfir dan maritim (atau danau), DAS menjadi tempat kelangsungan daur hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfir dan badan air bumi sanggup berjalan secara langsung, atau lewat peranan DAS. Terjadi pula kekerabatan hidrologi lansung antara DAS dan atmosfir. Hubungan hidrologi segitiga antara atmosfir, DAS dan badan air bumi (laut) disajikan pada Gambar 1. Bagan ini memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung dua waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut. Ini menjadi dasar pertama dalam pengelolaan DAS.
Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik yang cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang lahan (landscape) khas di banyak sekali wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di dalam DAS sanggup dikaji berdasar pertukaran materi dan energi (Leopold dkk, 1964). Hal ini menjadi dasar kedua dalam pengelolaan DAS. Gambar 2 merupakan contoh DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran materi dan energi.
Atmosfir
DAS Tubuh Air Bumi
(laut atau danau)
hubungan erat
hubungan terbatas
Gambar 1. Hubungan hidrologi yang disederhanakan antara atmosfir, DAS, dan badan air bumi.
Gambar 2. Acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran materi dan energi.
Setiap DAS cenderung memperluas diri, baik dengan jalan pengikisan mundur dan/atau menyamping di kawasan hulu, maupun dengan jalan pengendapan di kawasan hilir, termasuk pembentukan jalur berkelok (meander) di dataran pantai dan pembentukan delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini maka DAS merupakan suatu satuan geomorfologi yang bersifat sangat dinamik, dibuat oleh proses- proses fluvial dan memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua proses yang saling berlawanan. Proses yang satu ialah degradasi (penurunan) di kawasan hulu dan proses yang lain ialah agradasi (peningkatan) di kawasan hilir. Dengan demikian ada proses perpindahan material dari hulu ke hilir. Salah satu hasil morfogenesa penting semacam ini ialah pembentukan bentang tanah atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap DAS. Keadaan ini merupakan dasar ketiga dalam pengelolaan DAS.
Di depan telah diuraikan wacana banyak sekali gatra dan keaneka ragaman pemanfaatan DAS. Hal ini merupakan dasar keempat dalam pengelolaan DAS.
Dari dasar pengelolaan pertama dan kedua mengandung suatu pengertian penting, bahwa DAS merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Hal ini sanggup dilihat dari berfungsinya interaksi luar (functioning of external interactions), yang berdasarkan De Santo (1978) merupakan kategori kedua yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem. Dasar pengelolaan kedua, ketiga dan keempat menunjuk kepada suatu pengertian penting berikutnya, bahwa DAS merupakan suatu sistem peubah energi (energy transformer). Hal ini sanggup dipandang adanya interaksi berfungsinya faktor-faktor internal (functioning of internal interactions). Yang berdasarkan De Santo (1978) merupakan kategori pertama yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem.
2.5 Dasar-Dasar Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS biasanya mengacu pada pengelolaan dua anasirnya (component) yang dianggap terpenting, yaitu sumberdaya tanah dan air. Adapun anasir yang lain, ibarat iklim, vegetasi, relief dan manusia, diharapkan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan.
Maksud pengelolaan DAS ialah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang berdasarkan waktu. Dalam ungkapan “sesuai dengan kemampuannya” tersirat pengertian selaras dan lestari. Ungkapan “manfaat lengkap” dan “kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang berdasarkan waktu” mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran DAS dilarang hanya bermacam tunggal, akan tetapi harus terdiri atas banyak sekali hasil keluaran yang berkombinasi secara optimum, dan (2) planning pengelolaan harus bersifat elastis (flexible) yang berisi sejumlah alternatif.
Untuk mengarahkan pengelolaan, diharapkan tiga unsur pengarah. Yang pertama diharapkan ialah variable-variabel keputusan (decision variables), yang menjadi sumber pembuatan alternatif. Yang kedua diharapkan ialah maksud dan tujuan (objectives), ini sanggup sebuah atau lebih. Yang ketiga ialah hambatan (constraint), yang membatasi gerak variabel-variabel keputusan dalam membuat alternatif-alternatif untuk mencapai maksud dan tujuan yang ditetapkan. Khusus mengenai pengelolaan DAS, yang sanggup digunakan sebagai variebel-variabel keputusan ialah (1) keempat dasar untuk pengelolaan DAS yang telah disebutkan terdahulu (DAS selaku penghubung dua waduk air alam utama, kehadiran DAS didukung oleh kegiatan pertukaran materi dan energi, DAS berkembang melalui proses perubahan dalam dan DAS bergatra ganda yang sanggup dimanfaatkan untuk banyak sekali peruntukan), (2) pemanfaatan DAS harus sanggup menimbulkan pemerataan manfaat antara kawasan hulu dan hilir, dan (3) pengembangan DAS harus sanggup memperlihatkan sumbangan bagi kepentingan regional dan atau nasional. Maksud atau tujuan pengelolaan DAS telah disebutkan di atas. Yang sanggup ditunjuk sebagai hambatan terhadap perkembangan DAS ialah iklim, relief, tanah, air, sumberdaya mineral, vegetasi, beberapa gatra tertentu manusia, ruang/luas, bentuk, ketercapaian dan keterlindasan. Pendek kata semua anasir DAS yang dikenai atau terlibat dalam pengelolaan.
Dalam planning pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan pengelolaan hulu meliputi seluruh kawasan tadah atau kawasan kepala sungai. Satuan pengelolaan hilir meliputi seluruh kawasan penyaluran air atau kawasan bawahan. Oleh Ray dan Arora (1973) istilah “watershed” digunakan secara terbatas untuk menamai kawasan tadah, sedang kawasan bawahan mereka namakan dengan istilah “commanded area”. Yang dinamakan “commended area” ialah daerah-daerah yang secara potensial berpengairan. Di DAS yang sanggup dibangun suatu bendungan atau waduk maka seluruh kawasan yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang terletak dibawah garis tinggi pintu bendungan atau waduk) merupakan “commended area”.
Pengelolaan kawasan tadah ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut ini (Roy &Arora, 1973): (1) Pengendalian anutan permukaan tanah (excess) yang merusak, sebagai perjuangan mengendalikan banjir, (2) Memperlancar infiltrasi air kedalam tanah. (3) Mengusahakan pemanfaatan anutan permukaan untuk maksud-maksud yang berguna, (4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan produksi.
Faktor-faktor yang berdaya (affect) atas kegiatan pengelolaan kawasan tadahan atau DAS hulu ialah (Roy & Arora, 1973): (1) Bentuk dan luas kawasan tadahan, (2) Lereng dan timbulan makro (3) Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan (5) Rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) Penggunaan lahan terkini.
Tujuan pengelolaan DAS hilir sanggup diringkas sebagai berikut: (1) Mencegah atau mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan kemampuan lahan.(2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk meningkatkan kemampuannya. (3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber air tersediakan. (4) Meliorasi tanah, termasuk memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi tanah atas tanah-tanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah.
Faktor-faktor pokok yang berdaya atas kegiatan pengelolaan kawasan hilir ialah: (1) Bentuk kawasan hilir dan perbandingan luasnya dengan luas kawasan tadahan.(2) Perbedaan landaian (gradient) lereng umum kawasan hilir terhadap landaian lereng umum kawasan tadahan. (3) Timbulan makro, ketinggian muka lahan pukul rata, jeluk (depth) pukul rata air tanah, dan keadaan tanah. (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan.(5) Rupa dan vegetasi penutup. (6) Penggunaan lahan kini.
Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan pecahan terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, lantaran hal itu akan menentukan laba yang sanggup diperoleh, atau kesempatan yang terbuka, dalam pengelolaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir menentukan seberapa besar laba yang secara potensial sanggup diperoleh lantaran pengelolaan DAS hulu benar-benar terwujudkan. Dengan kata lain, pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu.
Hubungan ini sanggup digambarkan pada Gambar 3. Dari pecahan ini tampak, bahwa pengelolaan DAS hulu bertujuan rangkap: (1) meningkatkan harkatnya sebagai lahan perjuangan dan atau lahan permukiman, dan (2) memperbaiki dampaknya atas DAS hilir untuk memperluas peluang memperbaiki keadaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir berperanan melipatkan efek perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan ekologi maka kawasan hulu dikelola sebagai kawasan penyumbang (donor) materi dan energi, atau boleh juga disebut sebagai lingkungan pengendali (conditioning environtment). Sementara itu, kawasan hilir merupakan kawasan akseptor (acceptor) materi dan energi, atau lingkungan konsumsi atau lingkungan yang dikendalikan (commanded environment). Dengan demikian pengelolaan DAS harus bersifat menyeluruh dan sanggup memadukan pecahan hulu dan hilir menjadi satu sistem.
Gambar 3. Bagan kekerabatan antara pengelolaan DAS hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS terpadu
2.6 Data Dasar Yang Diperlukan Dalam Pengelolaan DAS
Penanganan sumberdaya untuk pemanfaatannya memerlukan data dasar sebagai pangkal otak. Demikian pula halnya dengan pengelolaan DAS. Data dasar (baseline data) ialah sekumpulan keterangan hakiki wacana suatu masalah (matter) yang relevan dengan etika (nature) masalah itu. Data itu sanggup berupa ciri (characteristic) atau terukur (measureable). Mutu tidak sanggup diamati atau diukur secara langsung, lantaran ditentukan oleh saling tindak sejumlah sifat, dan hanya sanggup diketahui, dirasakan atau dinilai dari akhir atau perwujudan (manifestation) yang ditimbulkan. Yang dimaksud dengan akhir atau perwujudan ialah tindakannya dalam mempengaruhi kecocokan sumberdaya (DAS, lahan) bagi suatu penggunaan tertentu. Taraf kepentingan nisbi tiap sifat yang menentukan suatu mutu tertentu, bergantung pada keadaan lingkungan (Brinkman dan Smyth, 1973). Misalnya, erodibilitas tanah sebagai mutu ditentukan bersama oleh faktor-faktor kemiringan dan panjang lereng, permeabilitas tanah, dan kemantapan struktur tanah. Taraf kepentingan nisbi permeabilitas tanah menjadi menonjol dalam lingkungan iklim basah. Dalam lingkungan iklim kering, yang mana pengikisan angin menjadi bentuk pengikisan pokok, tinggal kemantapan struktur tanahlah yang menjadi faktor yang menonjol. Erosivitas hujan bersama dengan erodibilitas tanah menentukan mutu lahan yang disebut kerentanan lahan terhadap pengikisan air. Macam mutu yang lain antara lain kesuburan tanah, iklim, kebersihan air, keterlindasan (trafficability), dan keramah tamahan penduduk. Mutu sanggup diharkatkan dengan sebutan (buruk, sedang, baik) atau dengan nilai tertentu (scoring).
Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir atau gatra DAS yang penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS. Macam data yang sekurang-kurangnya harus dikumpulkan ialah:
(1) Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah berdasarkan hidrologi lahan).
(2) Erosivitas hujan dan erodibilitas tanah, untuk daerah-daerah beriklim kering, erosivitas hujan diganti dengan erosivitas angin.
(3) Keadaan iklim hayati, yang meliputi agihannya berdasarkan tinggi tempat dan kedudukan topografi.
(4) Proses fluvial dalam geomorfologi (erosi, sedimentasi, hidrolika sungai, pembentukan delta, dataran banjir, dataran interfluvial, dataran estuarin, bentukan morfologi destruktif, ibarat lembah, peneplain, morfologi karst, dsb).
(5) Kemampuan lahan untuk pertanian, baik produktivitas maupun potensialitasnya.
(6) Tataguna lahan sekarang dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air kini.
(7) Ketercapaian wilayah dan keterlintasan.
(8) Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata pencaharian, kemampuan usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga, tingkat kesehatan, dan mobilitas penduduk.
(9) Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan teknologi.
Dari analisa dan evaluasi data dasar akan diperoleh pengetahuan, kesimpulan atau petunjuk wacana :
(1) Tingkat peluang dan prospek pengembangan.
(2) Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan kerjasama dengan DAS tetangga dengan maksud saling mengisi.
(3) Macam dan jumlah masukan yang diperlukan.
(4) Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan suasana yang harmonis bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya, maupun untuk pentahapan pembangunan secara bernalar berdasarkan tempat dan waktu.
Dari macam ragam data dasar yang diharapkan sanggup disimpulkan bahwa pengelolaan DAS harus dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan multidisiplin ialah suatu titik tolak pandangan atau sikap, atau kerangka pendekatan, yang memadukan banyak sekali bidang pengetahuan yang relevan dengan etika dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik. Agar biar sistem analitik ini sanggup berfungsi efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam kerangka kerja. Unsur-unsur tersebut sanggup diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan pertimbangan hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain yang berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut pertama tadi memperlihatkan masukan kepada unsur berikutnya yang berkedudukan hirarki lebih rendah.
Sistem analitik ibarat ini mempunyai struktur bertingkat. Biasanya pengumpulan data dasar dan analisa kualitatif fisik berada pada tingkat atas (langkah kerja pertama), dan memperlihatkan masukan kepada analisa sosial-ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah kerja kedua). Maka system analisa ibarat ini disebut pula “pendekatan bertingkat dua”. Dapat pula analisa semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki tunggal), dan sistemnya dinamakan “pendekatan sejajar” (ILRI, 1977).
Kedua macam pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pendekatan bertingkat atau sedikit demi sedikit bersifat lebih terarah, mempunyai urutan kegiatan yang terang tanpa langkah-langkah yang saling berhimpitan. Dengan demikian ia bersifat lebih fleksibel dalam hal penganggaran penghasilan kegiatan survai dan pengumpulan data pada hal-hal yang pribadi diharapkan untuk analisa dan pengharkatan. Penghampiran sejajar sering menghambat analisa tuntas mengenai kemampuan menyeluruh (ultimate capability) suatu sumberdaya, lantaran terjerat dalam pertimbangan sosial-ekonomi yang membuat batasan tempat dan waktu. Dengan demikian prospek mutlak suatu sumberdaya tidak terungkapkan. Untuk keperluan pengharkatan lahan, FAO dan International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), menentukan pendekatan sedikit demi sedikit (ILRI, 1977). Penulis juga memperoleh pengalaman yang memuaskan dalam menerapkan penghampiran sedikit demi sedikit ini. Bidang sosial-ekonomi boleh saja ditangani pada tahap pertama kegiatan bantu-membantu dengan bidang fisik, asal saja terbatas pada pengumpulan data dasar.
Dalam menghubungkan asas kepaduan disiplin dengan pengelolaan DAS, Martin (1970) dalam kata pengantarnya untuk Symposium on The Interdisciplinary Aspects of Watershed Management di Montana State University mengemukakan bahwa “…professional from the many different disciplines will … work in concert to bring about total watershed managenent”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Maksud pengelolaan DAS ialah untuk mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang berdasarkan waktu. Mengingat bahwa DAS merupakan suatu system yang terbentuk dari adonan sumberdaya yang saling berkaitan dan berinteraksi, maka dalam pengelolaannya harus memperhatikan semua anasir-anasir penyusunnya. Karena DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran daripada pemaksimuman salah satu keluaran saja. Oleh lantaran itu, pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna mendapatkan manfaat sebaik-baiknya. Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi, diharapkan pengelolaan DAS akan sanggup lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Brinkman, R. dan Smith, A.J. (1979). Land evaluation for rural purpose. ILRI Publ. No. 17. Wageningen.
Dawes, J.H. (1970). Influence of soil on water yield. Proc. Symp. Interdisc. Aspects Watershed Management. Mon. State University.
Dent, J.B., Blackie, M.J. & Harrison, S.R.(1979). System simulation in agriculture. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
De Santo. R.S. (1978). Concept of applied ecology. Springer-Verlag, New York.
ILRI. (1977). Framework for land evaluation. Inter. Land Recl. Improv. Wageningen
Leopold, L.B., Wolman, MG. Dan Miller, J.P. (1964). Fluvial processes in geomorphology. WH. Freeman and Co. San Fransisco.
Martin, G.L. 1970. Introduction. Proc. Symp. Interdisc. Ascept Watershed Man. Mon. State Univ. h. 1-2. Amer. Soc. Civ. E. New York.
Meinzer, O.E. 1942. Ground Water. Dalam: Meinzer, O.E., Editor, Hydrology. Ch. XA. Dover Publ. Inc. New York.
Menard, H.W. 1974. Geology. resources, and society. W. H. Freeman and Co. San Francisco.
Michigan State Univ. 1976. Design and management of rural ecosystems. ASRA Information Resosurces, National Science Foundation. Wasington, D. C.
Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. Logman. London.
Nelson, A. & Nelson, K. D. 1973. Dictionary of water and water engineering Butterwarths & Co, Ltd. London.
Notohadiprawiro, T. 1977. Suatu cara pengharkatan cepat tapak darat (land site) bagipendirian pemukiman baru. Kongres Nasional Ilmu Tanah II. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Yogyakarta.
_______________ 1980. Penghijauan : kontroversi yang berkepanjangan. Seminar Penghijauan P. I. P. R. / R. S. D. C. Yogyakarta.
___________, & Drajad, M. 1980. Rancangan penjabaran kemampuan lahan untuk permukiman ketanian. Rancangan pertama. Dep. I. Tanah. Fak. Pert. UGM. Belum diterbitkan.
___________, Sukodarmodjo, S., & Drajad, M. 1980. Beberapa fakta dan angka wacana lingkungan fisik waduk Wonogiri dan kepentingannya sebagai dasar pengelolaan. Lokakarya Pengembangan dan Pelestarian Wilayah Waduk Wonogiri. Tawangmangu.
Oldeman, R. A. A. 1979. Blueprints for a new tropical agroforestry tradition. Proc. 50th Symp. Trop. Agr. Bull. 303. Kon. Inst. Tropen. Amsterdam. H. 25-34.
Rqy, K. & Arora, D.R. 1973. Technology of agricultural land development and water management. Satya pakashan. Tech. India Publ. New Delhi.
Soepraptohardjo, M. & Robinson, G. H., editors. 1975. A proposed land capability appraisal system for agricultural uses in Indonesia. Soil. Inst. Bogor.
Steele, J. G. 1967. Soil suvey interpretation and iats use. Fao Soil Bull. No. 8.
Storie, R. E. 1964. Handbook of soil evaluation. Assoc. Students Store. Univ. Calif. Berkeley.
Spedding, C. R. W. 1979. An introduction to agricultural systems. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
Wassink, J. T. 1979. Agroforestry, een samenspel van land- en bosbouw ten behoeve van de mens en zijn milieu. 67e Jaarverslag Kon. Inst. Tropen Amsterdam.
DISKUSI
Pertanyaan :
1. Pada kenyataanya sulit sekali pengelolaan DAS didasarkan pada batas-batas administrasi. Dengan adanya Otonomi Daerah maka ada bentrok antara DAS hulu dengan DAS hilir.
2. Saran (Masyarakat yang berada di hilir membayar ke kawasan hulu).
3. Yang diuraikan tadi hanya masih dalam teori-teori DAS saja, tetapi aplikasinya belum.
4. Karakteristik anutan sungai akan kita angkat sebagai variable utama.
Tanggapan :
1. Memang benar, bahwa yang disampaikan hanya bersifat teoritis, tetapi ini berfungsi untuk meningkatkan kesadaran kita.
2. Saran-saran kami terima untuk dipertimbangkan.